Minggu, 13 Januari 2008

MANTRA UNTUK JUALAN

NIYAT INGSUN BEBAKULAN DEDAGANGAN, SING ADOL LAN SING TUKU KIPO KIPO, SING ADOL MURAH SING TETUKU NGLARANGI, KEMRUBUT KOYO TEKANE TAWON AGUNG

cara mengamalkan
puasa mutih 3 hari 3 malam, kemudian puasa senen kamis sebanyak 7 bulan lamanya dimulai hari kamis wage, mantra dibaca ketika akan membuka toko atau dagangan atau ketika berjualan

MANTRA MENCARI MODAL

MARCONO MASIDEM, SAPI GUMARANG KANG KANGGO NYAUR UTANG, KEBO DUNGKUL KANG KANGGO MACU, NINI KANG NGIDERI, KAKI KANG MIJENI, METIK SANDHANG PANGANE SRI SADONO KANG SUNDHUK KEMBANG MULYO, SRI SADONO KANG ONO TEGIL KEPANASAN,KULO BEKTO WANGSUL DATENG GENDHONG PANGAYOMAN. OJO OBAH OBAH, OJO POLAH, YEN ORANG INGSUN KANG NGOBAHAKE


cara mengamalkan
puasa mutih 7 hari 7 malam, pati geni sehari semalam, mulai kamis wage. Mantra dibaca tiap malam jam 12 di muka halaman rumah

Kamis, 10 Januari 2008

Kundalini













Kundalini Shakti is the Vedic name for the living spiritual power within every human being. Known by many names in many lands, this sacred inner presence is the divine within, the sacred light and love and life that illumines each of us and guides us to union with the One, the All, the Ultimate Reality beyond all phenomena. Kundalini Shakti is each individual's own personal spiritual director, the Light of all Lights who strives to lead us to constant awareness of the Source. It is Kundalini Shakti who empowers our striving for spiritual attainment and then who would guide us to full spiritual realization. More subtle than energy, Kundalini Shakti is the core of our spiritual life and the very means for deepening our awareness of and cooperation with the spiritual endeavor, over which she presides.

“Kundalini” is a Sanskrit word meaning “coiled.” It is used to modify the noun “Shakti,” which means the spiritual power dwelling within every human being. Kundalini Shakti is the divine omnipotence surrounding the spark of Pure Consciousness at the core of our innermost selves. It is the subtlest manifestation of the One, the Ultimate Source, from which it is inseparable. This power aspect of Pure Consciousness has also been called Power Consciousness, the Divine Within, Holy Spirit, Divine Light, Inner Teacher, or Divine Mother and is known by many other titles, including the names of God in various spiritual traditions. All human beings, regardless of era, religion, or culture, are vessels of this Divine power within. Realization of this inner sacred presence enables us to develop to spiritual union, fulfillment, enlightenment, liberation, at-one-ment. This is the purpose of the spiritual endeavor, regardless of the terms used to describe it or the methods used to reach it. This inner Divine Guide is the very source of our manifest existence, and its constant striving is for our union with our true Self, the One. Because of the generative, motherly role Kundalini Shakti plays, she is often referred to in the feminine gender.

Kundalini Shakti is sheathed by her manifestation, the subtle body, which is our energy, mind, and discernment. She resides within the subtle body in either a contained or a released state. In her contained state, Kundalini Shakti is a tightly coiled static power that maintains the ordinary person's life functions and consciousness. Upon her release, Kundalini Shakti rises through one of several pathways in the subtle body and reaches whatever level is possible, based on the conditions in the subtle body at the time of the rising. In her released state, Kundalini Shakti is dynamically active and strives to improve her status and complete her rising, despite whatever impediments may be there. Her ultimate goal is the spiritual fulfillment of the individual.

Kundalini Shakti works in and through her container, the subtle body. The subtle body includes the three central sheaths (koshas) of the five that comprise the human being (see diagram), according to the Vedic philosophy of India. These three are energy, mind, and discernment. The energy sheath has a subtle physiology of its own, which employs subtle energies (vayus), subtle elements (tattvas), subtle energy flow patterns (svaras), subtle energy currents (nadis), subtle energy centers (chakras), subtle energy points (marmas), and subtle brain centers (dalas). The mental sheath is made up of the sensory/motor function of mind (manas), the persona (ahamkara), and the storehouse of latent memories and patterns (chitta), which includes the impressions of all our past karmas, even from previous lives. The discernment sheath (buddhi) includes the refined ability to discern what is truly good and helpful for our inner development.

There are a variety of perspectives on Kundalini provided by current texts and experts, each with their own special contribution. From our perspective, Kundalini is not a path in itself but a universal process. It is the essential common factor that is the key to all spiritual experiences regardless of an individual's religious or spiritual orientation. Kundalini Shakti is the means for deepening our connection to our spiritual endeavor and to the Divine Source itself. The sincere spiritual seeker supports Kundalini Shakti's ascension agenda by purifying and strengthening their subtle and physical bodies with healthy spiritual lifestyle, accompanied by correct spiritual practice. With this skillful cooperation, Kundalini Shakti is eventually able to elevate herself to union with the One. Ultimately, a Kundalini process culminates in spiritual realization. Our traditional teachings include a comprehensive, practical theoretical frame that allows us to assess a spiritual process, to offer sincere qualified seekers with individualized recommendations to improve their process, to offer spiritual instruction to help them better understand and support their process, and to provide guidance to expedite their efforts to effectively cooperate with the divine in their ongoing spiritual development.

Jumat, 04 Januari 2008

OPERATOR PENDULUM

OPERATOR

Operator pendulum adalah Manusia, dimana manusia yang berada di lautan medan magnetisme yang dihasilkan Bumi,Matahri dan alam semsta.sedangkan tubuh manusia adalah materi magnet, setiap sel tubuhnya adalah seperti dynamo kecil dan tubuh manusia berfungsi sebagai konduktor gelombang radiasi.

Gaya geakan oleh pendulumbukanlah gaya yang langsung, tetapi melalui intervensi tubuh manusia / operatornyan yang menghantarkan dan mengalirkannya kependulum, pendulum membuat gelombang tersebut dapat di amati oleh kita. Menurut Pastor Mermet, yang menghantarkannya adalah system syarf kita yaitu system syaraf Otonom Simpatetik.

Bakat adalha hal yang penting dalam memepelajari Radiesthesi ini, dimana kita lihat bahwa ada beberapa manusia yang di anugrahkan dalam bidang tertentu sepeti Matematika atau bidang melukis dll. Begitu juga dalam radiesthesi ini, kadang didapat oarng yang sangat peka teradap radiasi yang terpancar sehingga tidak memerlukan bantuan Pendulum sebagai alat deteksi. Selain itu kamampuan prikologis, mantal dan moral juga menjadi unsure yang penting. Selalu ada kemungkinan seseorang menjadi operator yang baik, hal yang diperukan adalah mencoba dan mencari taukemampuannya dalam mendeteksi

PENDULUM

Pendulum di definisikan sebagi benda atau objek yang terikat pada titik tetap.yang bergerak kedepan dan kebelakang dipengaruhi gaya gravitasi bumi.Pertama kali pendulum dikenalkan oleh GALILEO.

Spesifikasi Pendulum yang digunakan dalam Radiesthesi.

1. BAHAN, bahan yang digunakan untuk membuat pendulum adalah logam, kayu, gelas, granit atau benda yang beisi cairan.

2. BENTUK, bentuk pendulum terbaik adalah Bulatm karena dapat meminimalkan efek angin.

3. BERAT, beratnormal pendulum adalah 30 – 50 gram.

4. RANTAI, rantai yang digunakan harus fleksibel dan tidak menganggu gerak pendulum.

5. WARNA,warna ikut berpengaruh dalam menentukan, karena ada beberapa warna yang dapat menerima gelombang tertentu tetapi menghambat gelombang tertentu lainnya.sebaiknya menghindarkan pendulum yang berwarna.(Tabel 1)

6. SUHU, Jikapendulum di panaskan maka gerakan dan rotasi akan memeperlihatkan amplidonya akan meningkat sampai empat kali lipat. Dan jika di dinginkan akan memperlambat geraknya.

7. GERAKAN, ada tiga gerakan pendulum :OSILASI, ROTASI DAN ELIPS.

8. CARA YANG BENAR MEMEGANG PENDULUM, Rantai pendulum di pegang dengan di letakan antara Ibu jari dan jari telujuk dengan tekanan sesedikit mungkin, punggung tangan menghadap ke atas, tangan rileks tanpa tekanan dan memegangnya dengan lembut.

TEORI LAKHOVSKY

Tiori Lakhovsky adalah tiori yang mendukung Radiesthesi, dimana menurut lakhovsky, Desitas benda tidak tergantung pada atom-atom dalam molekul, tidak juga pada electron,proton,positron,atau pun partikel lainya dalam atom, tetapi Densitas suatu benda berdasarkan pada kondisi ruangan inter molekul dan ruangan inter molekul berbeda dari setiap bendanya.

Selanjutnya Lakhovskya mengatakan bahwa Pikiran kita adalah Getaran, yang menyebar dengankecepatan 300.000 km perdetik !!!.

Tiga Hipotesa yang mendukung Radiesthesi saat itu :

1. Semua benda tanpa kecuali secara konstan mengeluarkan gelombang atau radiasi.
2. Tubuh manusia memasuki gelombang Radiasi dan system syarafnya bereaksi arus tertentu, mengalir malalui tangan.
3. Jika suatu Objek seperti ranting Kayu atau pendulum, di pegang maka perubahan terus menerus yang tak terlihat akan menggerakanya dan dia berfungsi sebagai indicator.

Tubuh manusia dengan segala Resistensinya merupakan sirjuityang mengalirkan atau tidaknya suatu arus. Baik yang berasal dari fisik manusia itu maupun yang dating dariluar fisiknya.Ketika menerima gelombang radiasi dan penerima memenuhi syaratnya. Tubuh akan mengalirkan arus tersebut ke pendulum yang lalu akan mengerakan pendulumnya. Gerakan pendulum akan berbeda, tergantung jenis radiasi yang di terimanya.

Dalam TeleRadiesthesi, didasari oleh Tiori Lakhovsky yaitu jia pkiran terkonsentrasi pada objek tertentu, maka radiasi yang di pancarkan oikiran akan menyebarmenuju objektersebut dengan kecepatan sepertujuh detik !!!

RADIESTHESI

Radiesthesi berarti ilmu memepelajari pancaran gelombang, dengan asumsi bahwa setiap benda/materi memancarkan radiasi yang bias diukur dengan bantuan alat yang dinamakan PENDULUM, Rediesthesi menekankan pendeteksiaanya kepada kemampuan MANUSIA sebagai operatornya. Manusia bertindak sebagai pendeteksinya dan Pendulum sebagai alat pembaca Informasi yang ada.

Radiesthesi di temukan pertama kali pada masa Mesir Kuno pada pemerintahan Dinasti Firaun, pada saat itu Radiesthesi dianggab sebagai Ilmu rahasia yang hanya di ketahui oleh para para dukun tertentu. Setelah masa Firaun, Radiesthesi menghilang cukup lama, tetapi ada beberapa Ahli Pengobatan Mesir yang menjaganya dan menurunkannya hingga turun temurun. Radiesthesi kemudian muncul kepermukaan kembali di bawa Oleh Yakop Al Khozami pada awal abad ke-20 .

Di China, mengenai Radiesthesi di ketahui dari gambarkuno yang berusia 149 SM dimana terlihat gambar Kaisar Yu dari Dinasti Hia sedang memegang alat sepeti gagang garpu, di ceritakan bahwa sang kaisar memiliki kemampuan untuk menemukan daerah mengandung tambang dan sumber air, serta mampu menemukan barang yang hilang.

Bangsa Jerman mengenal Radieshesi pada abad ke 15 dalam penggunaannya mencarian logam, kemudian oleh pekerja jerman, ke ahlian ini di bawa ke inggris. Radiesthesi di gunakan luas di Belgia,Itali dan Prancis pada pertengahan abad ke 20. salah satu pengembang Ilmu Radiesthesi diEropa adalah PASTOR MERMET.

Penggunaan Radiesthesi sangat luas aplikasinya, ada beberapa bukti yang memeperlihatkan bahwa ilmu ini di gunakan dalam PD II, dimana jerman menggunakannya untuk mendeteksi kapal musuh melalui Peta, selain itudigunakan juga dalam pencarian bahan tambang, mata air, kemudian berkembang dalam pendeteksian penyakit, pendeteksian jarak jauh dan pencarian orang hilang.

Kamis, 03 Januari 2008

tentang KUNDALINI

Pada saat inti kundalini mencapai cakra mahkota, energi inti yang naik masih kecil sekali sehingga energi kundalini yang dapat digunakan masih lemah. Meskipun energi kundalini yang dapat dipergunakan masih lemah namun dapat membantu sedikit menyempurnakan kemampuan supranatural bagi orang-orang yang sudah mempunyai kemampuan tersebut. Kemampuan kewaskitaan (mata ketiga, waskita batin) tidak tergantung dari kundalini tetapi berasal dari kekuatan batin sendiri atau bantuan dari mahluk halus.

Bagi yang belum mempunyai kemampuan tersebut harus melatihnya jika mempunyai keinginan untuk memilikinya. Kemampuan supranatural bermacam-macam dan harus dilatih satu persatu dengan obyek meditasi yang berbeda sesuai dengan kemampuan supranatural yang diinginkan (terbang di udara, masuk ke bumi, masuk ke air, merubah wujud, kemampuan mencipta dll) , hanya saja jika kundalini sudah sempurna pelatihan kemampuan supranatural menjadi sangat mudah. Jika seseorang sudah dapat mencapai tahap samadhi (mencapai Jhana keempat / tingkat tertinggi dari meditasi menurut ajaran Buddhis), untuk melatih satu macam kemampuan supranatural hanya membutuhkan waktu satu minggu saja menurut buku Samma Samadhi.

Pada saat energi kundalini sudah selebar tubuh baru seluruh bibit kemampuan supranatural bangkit dengan sempurna dan untuk melatih sampai ketahap sempurnanya kundalini memerlukan waktu yang lama dan amat tergantung dari bakat dan latihan seseorang. Sangat sulit untuk mencapai kesempurnaan kundalini dalam satu kehidupan.

Pelatihan kundalini harus diarahkan ke spiritual atau pencarian Tuhan tidak kepada tujuan untuk mengembangkan kekuatan supranatural (berbahaya). Sekali seseorang yang mempunyai kekuatan supranatural berbuat jahat, maka ia sangat mudah untuk lebih banyak berbuat jahat. Sebagai salah satu contoh klasik adalah Dewadatta, murid sang Buddha, ia memiliki kekuatan supranatural yang luar biasa dan tersakti dari seluruh murid utama lainnya tetapi belum mencapai pencerahan. Kemampuan yang ia miliki ditunjang oleh energi kundalini yang sudah sempurna. Perbuatan jahat yang ia lakukan mengakibatkan ia terlahir di neraka.
Dari contoh ini dapat diambil kesimpulan kundalini dapat dipergunakan untuk perbuatan jahat.

Pencapaian kesempurnaan kundalini bukanlah pencerahan tetapi baru pencapaian duniawi yang tertinggi dan harus dilanjutkan kepada pencapaian luar duniawi atau pencerahan. Siapapun yang belum mencapai tingkat pencapaian luar duniawi masih mempunyai ego. Jadi tidak benar bahwa jika inti kundalini seseorang sudah mencapai cakra mahkota, ia telah mencapai pencerahan, bahkan belum apa-apa.

Harus diingat apa tujuan kita dalam melatih diri apakah untuk mencari kekuatan supranatural atau mencari Tuhan. Ia yang mencari kekuatan supranatural akan mendapatkannya dan ia yang mencari Tuhan akan mendapatkan Tuhan. Jangan menyia-nyiakan waktu untuk melatih kemampuan-kemampuan supranatural yang hanya untuk memperbesar ego dan menambah sifat keduniawian semata tetapi carilah Tuhan.

MEMBUKA PENGLIHATAN BATHIN /MELIHAT YG BERSIFAT HALUS2 BGT

ADAB ZIKIR ASMAUL HUSNANYA :
SEBELUM MASUK ZIKIR ASMAUL HUSNA NIATKAN : YA ZAT AL-BATHIN LIMPAHKANLAH KEBERKATAN SIFATMU YANG AKAN KAMI ZIKIRKAN INI KEDALAM DIRI KAMI.


ZIKIRNYA ASMAUL HUSNA = AL- BATHIN, ZIKIRNYA = "YAA BATHIN" TERSERAH KEMAMPUAN AJA BANYAKNYA BERZIKIR
TIRAKATNYA 40 HARI TANPA MAKAN MAKANAN YANG BERNYAWA/BERDARAH TAPI BUKAN BERPUASA LHO....SEKEDAR GA MAKAN YG BERNYAWA DAN BERDARAH AJA GITU LOH....(VEGETARIAN SELAMA 40 HARI)

MEMBERSIHKAN ISTINJA'

ISTINJA KETINGGALAN DILAKUKAN SELAMA 40 HARI SETIAP TIDUR PAGI SEBELUM KENCING PERTAMA , NIATNYA : KAMI NIATKAN MEMBERSIHKAN ISTINJA KETINGGALAN KARENA ALLAH. SETELAH HARI KE 41 BARU MANDI DENGAN NIAT : KAMI NIATKAN MANDI SUCI MEMBERSIHKAN ISTINJA KETINGGALAN, SUCI MANI UJUDDULLAH BERKAT LA ILAHA ILALLAH MUHAMMADAR RASULULLAH AP’AL ALLAH INI SUCI KARENA ALLAH.

ISTINJA'NYA YAITU DI LUBANG SEKECIL JARUM DI SEKITAR KEPALA PENIS ...HEHE INI SELAIN YG DIDUBUR LHO...

MANFAAT MEMBERSIHKAN ISTINJA KETINGGALAN
 Dalam keadaan bagaimanapun misalnya luka paling-paling sedalam kulit gabah.
 Semua roh jahat akan takut pada diri kita.
 Bilamana kamu sudah mati, batang tubuh insya Allah tidak akan busuk.

KUNCI KUNCI ILMU DUNIA

- NUR LAWAN ADALAH NUR TANPA ARAH (NUR YANG TIDAK KENAL HAKIKAT ASAL/DIRINYA) ATAU YANG DISEBUT NUR WANTAH SEDANGKAN NUR YANG KENAL HAKIKAT ASAL/DIRINYA, DAN DIBERI WEWENANG MUTLAK DISEBUT NUR MUHAMMAD.

- NUR WANTAH = NUR ARAH / NUR YANG TIDAK MENGENAL HAKIKAT ASAL/DIRINYA

KEBAL DARI SENJATA APAPUN

BISMILLAAHIR RAHMAANIR RAHIIM.

1. WA LAA YA-UUDUHUU HIFZHUHUMAA WA HUWAL 'ALIYYUL 'AZHIIM.
2. WA YURSILU ‘ALAIKUM HAFAZHAH.
3. INNA RABBII ‘ALAA KULLI SYAI-IN HAAFIZH.
4. FALLAAHU KHAIRUN HAAFIZHAW WA HUWA ARHAMUR RAAHIMIIN.
5. LAHUU MU ‘AQQIBAATUM MIM BAINI YADAIHI WA MIN KHALFIHII YAHFAZHUUNAHUU MIN AMRIL LAAHI.
6. INNAA NAHNU NAZZALNADZ DZIKRA WA INNAA LAHU LA HAAFIZHUUN.
7. WA HAFIZHNAAHAA MIN KULLI SYAITHAANIR RAJIIM.
8. WA JA’ALNAS SAMAA-A SHAFFAN MAHFUUZHAN WA HIFZHAM MIN KULLI SYAITHAANIM MAARID.
9. WA HIFZHAN DZAALIKA TAQDHIIRUL ‘AZZIIZIL ALIIM.
10. WA RABBUKA ‘ALAA KULLI SAY–IN HAFIZH ALLAAHU HAFIZHUN ALAIHIM WAMAA ANTA ‘ALAIHIM BI WAKIIL.
11. WA INNA ‘ALAIKUM LA HAAFIZHIIN KIRAAMAN KAATIBIIN.
12. YA ’LAMUUNA MAA TAF’ALUUN.
13. IN KULLU NAFSIL LAMAA ‘ALAIHAA HAAFIZH.
14. INNA BATHSYA RABBIKA LA SYADIID.
15. INNAHU HUWA YUBDI-U WAYU’IID ?.
- WA HUWAL GHAFUURUL WADUUD.
- DZUL ARSYIL MAJIID.
16. FA’ ‘AALUL LIMAA YURIID.
17. HAL ATAAKA HADIITSUL JUNUUD.
18. FIR’AUNA WA TSAMUUD.
19. BALIL LADZIINA KAFARUU FII TAKDZIIB.
20. WALLAAHU MIW WARAA-IHIM MUHIITH.
21. BAL HUWA QUR’AANUM MAJIID FII LAUHIM MAHFUUZH.


ARTINYA :

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang.
1. Dan Dia tidak berat memelihara keduanya (Langit dan Bumi) dan Dia Maha Tinggi lagi Maha Besar.
2. Dan dikirimkan-Nya Malaikat Penjaga untuk kamu.
3. Sesungguhnya Tuhanku adalah Maha Pemelihara segala sesuatu.
4. Allah adalah sebaik-baik pemelihara dan Dia-lah yang Maha Penyanyang diantara para Penyayang.
5. Bagi manusia ada (malaikat) mengikutinya bergantian dimuka dan dibelakangnya, mereka menjaga atas perintah Allah.
6. Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami pula pemeliharanya.
7. Dan Kami menjaganya dari tiap-tiap syaitan yang terkutuk.
8. Dan Kamilah yang menjadikan langit berlapis-lapis penjaganya dan Dialah Tuhan Pemelihara dari sekalian syaitan-syaitan maarid.
9. Dan pemeliharaan yang demikian itu sudah ditentukan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.
10. Dan Tuhanmu Maha Tinggi atas segala sesuatu pemeliharaan atas mereka dan tidaklah Engkau atas kamu diberi tugas mewakili.
11. Dan sesungguhnya Kami memberi tugas atas kamu Kiraman Katibin.
12. Dia Tuhan Yang Maha Mengetahui atas apa yang kamu kerjakan.
13. Tiap-tiap satu nama (diri) atasnyalah ada pemeliharanya.
14. Sesungguhnya siksaan Tuhanmu sangat keras.
15. Sesungguhnya Dia-lah yang menciptakan dan Dia pula yang menghidupkan kembali.
- Dan Dia-lah Yang Maha Pemgampun Lagi Maha Penyantun.
- Dan Dia pemilik arasyi yang agung.
16. Hanya Dia-lah Yang Maha Berkuasa membuat apa-apa yang Dia kehendaki.
17. Apakah telah sampai kepadamu berita bala tentara ?.
18. Fir’aun dan Tsamud.
19. Tetapi orang-orang kafir mendustakan.
20. Dan Allah mengepung (meliputi) dari belakang mereka.
21. Dia-lah Tuhan yang menurunkan Al-Qur’an yang mulia dipapan yang terjaga (Lauh Mahfuzh).


LELAKU :


1. Puasa selama 12 hari, mulai hari Selasa, Rabu dan Jum’at. Selama puasa jangan makan yang bernyawa dan yang mengandung darah. Hari kamis tidak berpuasa tetapi tetap jangan makan yang bernyawa dan yang mengandung darah. Puasa sebaiknya dilakukan pada bulan Muharam dan puasa terakhir sebaiknya jatuh pada hari jum’at kliwon.
2. Dalam keadaan berpuasa baca ayat-ayat tersebut sebanyak 21X sehari.
3. Apabila selesai melakukan point 1 dan 2 diatas selanjutnya cukup ayat-ayat tersebut diatas dibaca 1X saja setiap selesai shalat maghrib dan subuh.

nama dedengkot syaitan yg memiliki tugas khusus dari iblis....secara ISLAM

TSABR
Tsabr adalah syaitan yang ditugaskan menggoda manusia berbuat maksiat ketika lagi ngalamin kesusahan dan kesedihan hati. Jika ada yg mendapat musibah, Tsabr pasti tiba serta memberi bisikan agar manusia melakukan perkara-perkara yang bisa membawa kepada kebinasaan seperti membunuh diri karena tidak sanggup menanggung beban, ato sekurang kurangnya lari ke narkoba, mabuk2an dsb. Bagi mereka yang sedang menghadapi kekecewaan, merana dan duka hati karena kehilangan sesuatu yang disayangi, Tsabr akan menghubungkan hati mereka kepada yg disayangi itu. Seseorang ibu yang kematian anak yang satu-satunya akan meratapi siang dan amalam hingga lupa makan, lupa kewajiban, lupa pada suami dan lama kelamaan akan hilang akal lalu jadi gila atau setidak-tidaknya kurang daya ingatan.


AL-A'WAR
Syaitan ini matanya picing sebelah atau lebih tepat lagi arti Al-Awar itu buta sebelah matanya. A’war, tugasnya menggoda manusia tuk berbuat zina, keji dan nista. Seorang majikan yang sudah mempunyai isteri cantik bisa ditipu oleh si A’war, sehingga si suami tergoda dengan kemolekan pembantunya sampai terjadi perkosaan atau perzinahan. Dua remaja laki-laki dan perempuan yang sedang berdua dalam tempat yang sunyi adalah sasaran empuk si A’war untuk membisikan agar berbuat yang tidak senonoh bahkan sampai berzina.


MISWATH
Tugasnya menyebarkan berita dusta atau menyebarkan fitnah agar manusia menjadi kalut dan kacau, saling menuduh dan memfitnah diantara mereka, bahkan sampai saling membunuh karena fitnah. Miswath bukan hanya membisikkan kehati manusia, tetapi jg menjelma n' menyamar sebagai manusia semata-mata utk menyesatkan umat manusia sejagat. Miswath artinya pengaduk/pengadon yang dibuat daripada kayu atau lainnya digunakan untuk mengaduk/mengadon. sesuai dg namanya, Miswath itu sebagai pengadon/pengaduk umat manusia yang sedang tenang damai menjadi kacau balau dengan berita-berita bohong.


DASIM
Tugasnya menyebarkan sifat emosi, mudah marah dan permusuhan. Biasanya sering terjadi dalam rumah tangga. Dalam rumah tangga bila terjadi konflik, maka si Dasim datang untuk membesar-besarkan masalah itu sampai terjadi keretakan dan kehancuran antara suami, isteri dan anak. Dasim membakar hati manusia terus menerus. Jika dengan perang mulut tidak dapat diselesaikan, biasanya berpindah menjadi pergelutan, tonjok menonjok, tampar menampar, dll. Itulah tugas atau kerja Dasim.


ZAKNABUR
tugasnya menggoda para pedagang agar berbuat kecurangan dan penipuan didalam berdagang, seperti : mengurangi timbangan, menipu dan mengajak manusia melakukan Riba.


WALHAN
Tugasnya menggoda manusia yang sedang berwudhu agar was-was kalau wudhunya tidak sah dan shalatnya menjadi tidak sah pula, karena wudhu adalah salah satu syarat sah shalat. “ Bagi wudhu itu ada satu syetan.


KHANZAB
Tugasnya menghalangi manusia supaya tidak malakukan shalat atau mengganggu orang yang sedang shalat agar shalatnya tidak sempurna.

Nama Jin, Khodam dll

DHANGHYANGAN
[Para Ratuning Dhedhemit Ing Nusa Jawi]
Pupuh Sinom:
Apuranen sun angetang, lelembut ing nusa Jawi kang rumeksa
ing nagara, para ratuning dhedhemit, agung sawahe ugi yen
eling sadayanipun, pedah kinaya tulah, ginawe tunggu wong
sakit, kayu aeng lemah sangar dadi tawa.
Kang rumiyin ing bang wetan. Durganeluh Maospahit lawan Raja
Bohureksa iku ratuning dhedhemit Blambangan kang winarni
awasta Sang balabatu, aran Butalocaya, kang rumeksa ing
Kadhiri, Prabuyeksa kang rumeksa Giripura.
Sidagori ing Pacitan, Kaduwang si Klenthingmungil Endrayaksa
ing Magetan, Jenggala si Tujungputih, Prangmuka Surabanggi.
Pananggulang Abur-abur Sapujagad ing Jipang, Madiyun si
Kalasekti, pan si Koreb lelembut ing Pranaraga.
Singabarong Jagaraga, Majenang Trenggilingwesi, Macan guguh
Garobogan, Kalajangga Singasari, Sarengat Barukuping Balitar
si Kalakatung, Butakurda ing Rawa, Kalangbret si
Sekargambir, Carub-awor kang rumekso ing Lamongan.
Gurnita ing Puspalaya, si Lempur ing Pilangputih, si Lancuk
aneng Balora, Pagambiran Kalasekti, Kedhunggene Ni Jenggi,
Ki Bajangklewer puniku ngLangsem Kalabrahala Sdayu si
Cicingmurti, Ki Jalangkah ing Candi Kahyanganira.
Semarang Baratkatiga, Pakalongan Gunturgeni, Pecalang si
Sambangyuda, Sarwaka ing Sukawati ing Padhas Nyai Ragil,
Jayalelana ing Suruh Butatrenggiling Tegal, ing Tegal si
Guntinggeni, Kaliwungu Gutukapi kang rumeksa.
Magelang Ki Samaita, Dhadhungawuk Geseng nenggih,
Butasalewah ing Pajang, Manda-manda ing Matawis, Paleret
Rajekwesi, Kuthagede Nyai Panggung, Pragota Kartasura,
Cirebon Setankoberi, Jurutaman ingkang aneng Tegallayang.
Genawati ing Seluman, Ki Kemandhang Wringinputih, si Karetek
Pajajaran, Sapuregel ing Betawi, Ki Drusul ing Banawi,
ingkang aneng Gunung Agung, Ki Tlekah ngawang-awang Ki Tapa
ardi Marapi, Ni Taruki ingkang ana Tunjung Banag.
Setan kareteg ing Kendal, Pamasuhan Sapuangin, Kresnapada
ing Rangkudan, Ni Pandansari ing Srisig, kang aneng
Wanapeti, Palangkaarsa wastanipun, Ki Candung ing Sawahan,
Plabuhan Ki Dudukwarih, Batutukang kang aneng Palayangan.
Ni rara Aris ing Bawang, ing Tidar Ki Kalasekti, Ki
Padureksa Sundara Ki Jalela ardi Sumbing, Ngungrungan
Kesbumurti, Ki Krama ardi Rebabu, Nirbangsan ardi Kombang,
Prabu Jaka ardi Kelir, Ajidipa gunung Kendheng kang den
reksa.
Ing Pasisir Butakala, ing Tlacap si Kalasekti, Kalanadhah
ing Banyumas, Sigaluh aran Prenthil Banjaran Ki Wewasi Kyai
Korog ing Lowanu, gunung Duk Geniyara, Nyai Bureng
Parangtritis, Drembamoha ingkang aneng Prabalingga.
Ki Kerta Sangkalbolongan, Kedhungandhong Winongsari ing Jenu
Ki Karungkala, ing Pengging Banjaransari, ing Kedhu kang
nenggani, anamaa Ki Candralatu, Gunung Kendhalisada
Kethekputih kang nenggani, Butaglemboh ing Ayah
kahyanganira.
Ni Rara Dhenok ing Dewak, ing Tubin Nyai Bathithing ing Kuwu
Ki Juwalpayal, si Jungkit ing Guyanag nenggih, Trenggalek Ni
Daruni, Tunjungseta Cmarasewu, Kalawadung Kenthongan, Jepara
Ki Wanengtaji, Bagus Anom ing Kudus kahyanganiraa.
Magiri Ki Manglarmonga, ing Gading Ki Puspasari Ketanggung
Ki Klanthungwelah, Brengkalan si banaspati, Ni Kopek ing
Manolih, ing tengah si Sabukalu, Nglandhak Ki Mayangkara, si
Gori Kedhungcuwiri, Baruklinthing ingkang ana ing Bahrawa.
Sunan Lawu ing Argapura, ing Bayat si Puspakati,
Cucukdandang ing Kartikan, kulawarga Tasih Wedhi, kali Opak
winarni, Sanggabuwana ranipun, si Kecek Pajarakan,
Cingcinggoling Kaliwening, ing Dhahrama Ulawelang kang
rumeksa.
Kang aneng Kayulandheyan, Ki Daruna Ni Daruni, Bagus Karang
aneng RobanSungujaya Udanriris, Sidarangga Dalepih, si
Gadhung Kedhunggarunggung, kang neng Bajanegara, Citranaya
kang nenggani, Genapura kanaan aneng Majapura.
Ki Logenjang ing Juwana, ing Rembang si Bajulbali, Ki Lender
ing Wirasaba, Madura Ki Butagrigis, kang ngreksa ing Matesih
Jaranpanolih ranipun, Ki Londir Pacangakan, si Landhep ing
Jataisari, Ondar-andir ingkanag aneng Jatimalang.
Arya Tiron ing Lodhaya, Sarpaabangsa aneng Pening,
Perangtandanag ing Kasanga, ing Crewek Ki Mandamandi setan
telagapasir, ingkang aran Ki Jalingkung, Kalanadhah ing
Tuntang, Bancuri Kalabancuri, kang rumekso sukune ardi
Baita.
Ragadungik Randhulawang, ing Sendhang Retna Pengasih
Butakapaa ing Prambanan, Bok Sampurna ardi Wilis, Raden
Galinggangjati kang rumeksa Gajahmungkur, si Gendruk ing
Talpegat, Ngembet Raden Panjisari, Pagerwaja kang aran
Udakusuma.
Ki Penthul ing Pakacangan, Cangakan si Dhodhotkawit
kalangkung ing sektinira, titihane kudha putih, cakra
payungireki lar waja kekemulipun, pan sami rinajegan,
respati rajege wesi, camethine pat-upate ula lanang.
Sinabetaken mangetan, ana lara teka bali, tinulak bali
mengetan mangidul, panyaberneki, lara prapta ambalik,
tinulak bali mangidul ngulon banyabetira ana lara teka bali,
pan tinulak mangulon bali kang lara.
Mangalor panyabetira, ana lara teka bali, mangalor
balitinulak anulya nyabet manginggil, lara prapta ambalik
tinulak bali mandhuwur nulya nyaber mangandhap, ana lara
teka bali, pan tinulak larane bali mangandhap.
Dhemit kang aneng Jepara, lan dhemit kang aneng Pati
kalangkung kasektenira, Juweyawastanireki, Gus rema
Tambaksuli, Kudhapeksa ing Delanggung, Ki Klunthung
Ringinpethak, Ni Gambir ing Glagahwangi, si Kacubung
Kadilangu kang den reksa.
Ni Duleg ing Pamancingan, Guwa langse Nini Suntring, kang
rumeksa Parangwedang raden Arya Jayengwesti, kabeh urut
pasisir, kulawarga Nyai Rara Kidul, sampun pepak sadaya,
paraa ratuning dhedhemit, nusa Jawa pangeran kang rumeksa.

ALTERNATIVE DEATHSPELL

To secure the death of a foe:

Get some wax from an old church or, failing that, from what
is called a 'botanica shop' (Catholic Magick). Out of the
wax, make what is called an 'effigy'. Now it will be better
if you can get some of your enemy's hair and/or clothing or
finger/toe-nails. Put them at the appropriate place on the
effigy. When you've made it, then set it up on your altar.

Seal the association with some blood. Get some blood from a
butcher or if you have to from your finger with a pin.
Smear this on the effigy, especially on the head and the
genital area. Do this in candle-light and don't let anyone
else know you are doing it.

Enact the spell. Make up some nonsense words (the Lord's
Prayer said backwards is good) and chant these as you drive
a pair of scissors deep into the heart of the effigy.
Imagine a great sword penetrating the chest of your enemy
and see hir falling to the ground with a heart-attack or
perhaps some sort of industrial accident. Drive those
scissors in deep and leave them there on your altar for
exactly 3 days, meditating on this image and the potency of
your spell. Again, don't tell anyone you're doing this.

Within three days your enemy will be dead. Take the effigy
and scissors and wrap a clean white cloth around them. Tie
it up real good and put a few large stones in with them. Go
to the nearest body of water and throw this into it sometime
near midnight. Don't let anyone know that you are doing
this either.

Don't say anything about your spell to anybody for at least
a week. If you find out that your enemy didn't die, then
don't tell anyone for two weeks. They'll die sometime
within the next month. Sometimes the evil gods need to know
you are serious before they will allow you to carry out your
wrath.

Don't take public credit for the death. If you do, they'll
lock you up or consider you a suspect of what may appear to
authorities to be a murder.

IMPORTANT NOTE:

This spell is very powerful. It should be used in PLACE of
physical violence. Violence is often illegal and will
likely rebound upon you, just like the bambi-wiccans say.
They only know SOCIAL laws of magick. Do the spell just like
I told you and forget about the person, secure in the
knowledge that you have caused them everlasting torment.

You see, their soul will not go to heaven. Since they were
killed with magick and you've thrown the effigy into a body
of water, they cannot ever get into heaven until someone
finds the effigy and removes the scissors in a magical rite.
Fat chance. :)

DEATHSPELL

First you must decide whether or not you would REALLY want
to destroy your target. It is the responsibility of the
magician to be certain of his intent, and yes, I believe you
must seek her annihilation if you want a full-blown curse to
succeed. If not, then perhaps your magic should be more
self-directed and of a healing nature.

Gather some minor possession of the subject, preferably
hair, fingernail clippings, etc. Since she was an ex-lover,
use the power of psychosexuality to your advantage and take
a pair of her underwear. This will serve to connect you
emotionally with the target of the curse, and aid in your
visualization.

Using some flamable material (colored tissue-paper will do
the trick), fashion a simple doll, using the hair (or other
material) as stuffing. You don't need to create a work of
art here...just something that you can identify as the
target. While creating your effigy, recite a mantra you
have made based upon the target's name. (Info on creating
mantras can be found in Carroll's book _Liber Null_).

Pick a remote area on a moonless night, bring a candle
(black), needles, chalk, a sharp knife and some flamable
liquid (lighter fluid works).

Light the candle.

Chalk a "destructive" power symbol on the ground. Some
people use the Satanic baphomet, some use the
counter-clockwise swastika...use whatever you like, the more
personal, the better (I prefer a skull and crossbones).

Place the effigy in the center of the symbol.

Invoke Abaddon the Destroyer. You must write your own
invocation here, but be certain to make a good case for
calling this Lord of Wrath into being. Be formal about it,
and be certain to mention his all his titles and deeds (The
monsters of the pit can be extraordinarily vain!) Inform
him of all of your target's crimes, and your malevolent
desires. The more impressive you make your invocation, the
more likely it is that Abaddon will take heed. Do not
expect him to appear in physical form, but if you are
confident in your invocation, rest assured *he is there*!

Now invoke every bit of rage and hatred that you can summon.
Everything. I mean it, focus all your being on this tiny
range of emotion, and direct it onto the effigy. The effigy
(and hence, your target) is responsible for all of it.

With loathing and distain, plunge the first of the needles
into the effigy's abdomen. This is for fear. Concentrate
on the terror you want the target to feel. Take as much
time as you feel you need to express this desire.

Repeat, this time put the needle in the head. This is for
confusion. Invoke an image of blurred hysteria and insanity.
Concentrate.

Stick the final needle into the effigy's heart. Twist it a
few times if it makes you feel good. This is for the
anguish that has been caused to you. May it return to your
target a hundred-fold. Concentrate on anguish.

Using your knife, slice the effigy open from head to groin,
being certain that the cut connects the pins you have placed
in the effigy. This is the action that will send the target
on her way to complete annihilation. Be passionate about
it.

Place the effigy in the center of the chalk symbol. Put the
lighter-fluid on it (be sure you are careful that there is
nothing else flamable about, like grass, etc). Call on
Abaddon to work your will, and release this curse onto the
world. Set fire to the effigy. As it burns away, imagine
all your anger and hatred dissipating with the smoke. Let
it all drift away with the smoke and flames. You have set
your desires into action, now you must release those
desires. (Imagine a magic curse to be like throwing a
baseball; it only works when you let the ball travel away
from you. The more you hold back, the less successful the
throw.) Forget about her, and get on with your life. Rest
assured that the curse will take root in time.

FOUR SPELLS WITH COFFIN-NAILS

A Malaysian charm designed to bring sickness and ill health
to a victim calls for 1/2 lb. of melted wax, and a bit of
hair or a piece of clothing belonging to an enemy. If
clothing is used, cut or tear it into tiny pieces. Mold the
wax and cloth, or hair, into an image of the person to whom
malice is intended. After the doll is ready, take a coffin
nail and prick it over and over, repeating several times,
"it is the heart that I prick, it is the liver that I prick,
it is the spleen that I prick, it is the brain that I
prick." The ritual is repeated each evening for three
evenings in a row. After that time, wait nine days. If the
victim is still well, the magician must try a different
spell for the victim has been protected by counter-magic or
some protective witchcraft.

A modern spell to cause an enemy to go mad is done with a
voodoo doll, a coffin nail, some Black Arts Oil, and fire.
The doll should be carefully labeled with the foe's name. On
the first evening of a full moon, place a coffin nail in a
bottle of Black Arts Oil or pour some oil in any small
container and place the nail in it so that it is fully
covered and can soak well. Leave the nail for nine nights,
and on the tenth night, pound the nail into the doll's head.
It is alleged that, before the next full moon's coming, the
victim will be cursed with severe headaches, faulty memory,
and deep depression.

If you wish to cause an enemy to move away from you, an
almost unfailing ritual can be performed with nine coffin
nails, some graveyard dirt, and crossing powder mixed with
get away powder. Just mix together the dirt and the two
powders so that it is thoroughly blended. The proportions
are not important, but about one third of each ingredient is
best. Divide the potion into nine approximately equal
portions and place each portion into a small envelope with
one of the coffin nails. Each evening go to the enemy's home
and throw the contents of one envelope in the path where the
foe must walk to enter or leave the home. Do this each
evening for nine consecutive nights, and it is probable that
by the tenth day this enemy will be moving from the
premises.

Another modern spell which is designed to bring tragedy to
an enemy is made with a piece of wearing apparel from the
intended victim. Take the clothing and cut it up into as
many pieces as you wish, or can get from the material, or
squares about 6" on all sides. Use one square each night.
Write the foe's name on a piece of parchment backwards and
state your curse on the other side of the paper. The curse
can be said in your own way, or it can just be something
simple like, "___(name)___ is cursed, ___(name)___ is damned
forevermore." The writing should be done with Dragon's Blood
Ink to which a drop of Black Arts Oil and a pinch of
valerian has been added. Then, fold the square up, turning
the folds away from you, never toward yourself. Take the
folded piece of clothing, with the curse inside and nail it
on your enemy's front door, using a coffin nail. Do this
each night until your mission has been accomplished.

Protection Chant

If you are feeling uneasy, nervous or threatened, try repeating this chant quietly to yourself.

Divine Goddess, Goddess Divine,
Divine God, God Divine,
If evil dwells within this place,
Please make it leave my space.

For lying lovers

A spell to deal with a wandering lover who will not
tell you the truth about their deceit.
Simply place a bit of skullcup in their shoes before
they leave the house.
This will drastically shift their appearance
from hot babe, or fine looking man to the most
unattractive individual ever. They will wonder what
happened and you can stifle a giggle and put on an
innocent look (practice the innocent look in the
mirror before hand!)

ah you will know and that is what counts..

however, do not tell anyone what you have done unless
you want to lessen the effects of your work.

MONEY DOUBLING SPELL

This spells helps double any denomination of cash paper
money that you have.

First find some almost new cash paper money, in the largest
denomination possible. The twenty, or fifty dollar bill is good.

Place this in a white envelope, and lick, and seal it.
Fold the envelope, and say once, every day, for
about seven days:

Occult powers to me shall bring,
The way to double this sum.
Hear me, thou cherubim which sing,
Quickly, and softly come...

Hold the envelope up, and pretend that it has
become heavier.

Keep the envelope in your bedroom. After you receive
more money, open the envelope, and either spend,
or deposit the money that was in the envelope.

MONEY DOUBLING SPELL

This spells helps double any denomination of cash paper
money that you have.

First find some almost new cash paper money, in the largest
denomination possible. The twenty, or fifty dollar bill is good.

Place this in a white envelope, and lick, and seal it.
Fold the envelope, and say once, every day, for
about seven days:

Occult powers to me shall bring,
The way to double this sum.
Hear me, thou cherubim which sing,
Quickly, and softly come...

Hold the envelope up, and pretend that it has
become heavier.

Keep the envelope in your bedroom. After you receive
more money, open the envelope, and either spend,
or deposit the money that was in the envelope.

WITCHES HANDSHAKE

Extend your right index finger and lightly
touch the wrist of the person exactly where the pulse is felt . by
touching the pulse it throws the acquaintance completely off his
balance for just an instant , but in that instant plant an initial
thought, ( example : I am the one you want for the job ) this
really works and is cool try it.

To curse an enemy

In the dark of the moon, spread a table with some cloth of a dark color.
Ragged and dusty. At the four corners, set black candles unlit. In the
center of the table, set a open wooden box. On a small flat stone, enscribe
your enemy's name reversed. Spit upon it and set it within the box. Light
the four candles with a burning straw or taper. Cast into the box a handful
of bitter weeds: chicory, dandelion, etc.
Fix the curse with these words...
That thou shalt be turned into a stone,
And that all thy wits shall be turned front to back,
And that over thy face the loathsomeness shall creep,
And that as in a coffin thy limbs shall be bound,
And that light shall be withheld from thine eyes,
And that thy house and lands shall be impoverished and spoiled,
And that all the nourishment shall taste to thy toungue as wormwood,
And that shou shalt be held alien from thy fellow man,
And that these things shall be so until I release thee,
I spread this table and mark this stone
And spit upon it and conceal it,
And light these candles and apply these poisons,
And fix this curse upon thee
In the names of the Four Fires
Whose names are RIL, YUT, SAR, and LOD,
Who shall consume thee as they are consumed


Remain watching by the candles until the are burnt out. These things may be
taken away but the stone must be buried near you house until the spell is
withdrawn.

TO GIVE SOMEONE BAD DREAMS

YOU NEED: paper, black and blue candles {the more the better}
a pen a stopwatch dragons blood
BEST TIMES: full moon after dark or when ever the said person is asleep.
BEST PLACE:outdoors

Start by lighting the candles this works the best if you are alone, this
takes all of your focus and if you lose it wont work. So have the idems
needed spread out on one side of you.
Write what you want to happen on the paper and think of the sounds that
will be heard and what it will look like.
When you are done think of the person you are casting this on or have
his/her picture there. Add the dragons blood to the spring water and
shake it up.
Next hold the stopwatch in one hand and the paper in the other.
This is the hard part, start the watch when you begin to read and as
you read picture it in you mind "take your time".
When you are done stop the watch and remember when it stopped.
Set fire to the paper and watch is burn. When it is done dump the
spring water onto the hot ashes.
When you know the person it asleep start the watch and picture the
dream again.
Stop it when it stopped when you read it off the page.

TIPS: you dont need all the water you can have the bottle half full, half
empty "whatever". Use drinking glasses or a bowl to sheild the candles
from the wind. I use a pumpkin head shaped trick or treating pail.
Oh and you can cheat and write down something like "their worst fears"
and have the watch count how long you want the dream to be.
But the results arent as controlled as if you were to think of one yourself.

AJNA oleh Maha Guru Ching Hai

Tanya : Dapatkah Anda menjelaskan mengenai cakra dan mata ketiga?

Guru : Mata ketiga merupakan mata sejati diri kita. "Bila mata Anda tunggal, seluruh tubuh Anda akan penuh cahaya." Itu adalah mata ketiga. Kebanyakan kita melihat perwujudan jasmani Allah dengan mata jasmani. Tetapi bila kita ingin melihat Allah sebagai mahluk tak berwujud, kita menggunakan mata rohani, yang kita sebut mata ketiga. Dalam tubuh jasmani, hubungan antara Surga dan bumi ada dalam pusat mata ketiga itu. Dan sebenarnya selama meditasi, kadang-kadang kita melihat mata itu, suatu mata tunggal, seperti mata Anda tetapi hanya satu mata tunggal. Itu yang disebut mata ketiga, atau mata rohani, atau mata kebijaksanaan, atau mata surgawi. Apapun namanya, sama maksudnya.

Dan cakra hati bukanlah pada jantung, tetapi merupakan tenaga hati yang tidak kasat mata yang berada di sekitar jantung. Seperti halnya Anda memiliki aura sekitar tubuh Anda, ini merupakan aura sekitar jantung. Dan cakra hati merupakan tempat Anda memusatkan pikiran bila Anda ingin menguatkan perasaan Anda tentang sesuatu - tentang kasih, pun tentang kebencian, apapun. Itu saat Anda menggunakan hati Anda. Tetapi bila kita ingin mengetahui kebijaksanaan, kita harus berkonsentrasi pada cakra kebijaksanaan yang merupakan mata ketiga lagi.

Kita memiliki berbagai cakra dalam tubuh. - cakra pada kaki, pada lutut, pada alat kelamin, pada lambung atau solar plexus, pada jantung, pada tenggorokan, dan sebuah cakra di sini (Guru menunjuk pada pusat mata kebijaksanaan) dan cakra mahkota. Maka bergantung pada maksud pencarian Anda, Anda memusatkan pikiran pada cakra tersebut. Bila Anda memusatkan pikiran pada mata kebijaksanaan, segala sesuatu menguat. Ini pusat dari seluruh cakra, markas besar diri kita. Maka sekali kita memusatkan pikiran di sana, kita membebaskan diri kita dan kita menguatkan segala sesuatu. Bahkan Anda makin lebih mengasihi, dan Anda makin lebih memahami. Hidangan Anda makin bercitarasa, Dan Anda bekerja makin baik, berpikir makin baik; Anda makin baik mencipta segala hal, Anda akan semakin baik dalam melukis dan sebagainya. Segalanya akan menjadi lebih baik.

Tanya : Bagaimana Anda mengembangkan mata ketiga?

Guru : Anda jangan mengembangkan mata ketiga; mata ketiga itu telah ada di sana. Kita tidak dapat mengembangkan sesuatu yang bukan bersifat materi. Mata ketiga hanya merupakan suatu cara pengucapan saja; sebenarnya tidak ada mata sama sekali! Hanya saja karena pada umumnya kita memiliki dua mata dan melihat segala sesuatu dalam pandangan yang terbatas. Namun jika kita memiliki mata lainnya, mata ketiga, kita dapat melihat segala sesuatu di alam semesta ini. Itulah sebabnya kita namakan mata ketiga. Sebenarnya, sang jiwa tidak butuh mata untuk melihat, tidak butuh telinga untuk mendengar, tidak butuh alat sensor apapun untuk mencerap segala sesuatu. Itu merupakan Kebenaran tertinggi, Pencerapan tertinggi, tanpa perlu menggunakan peralatan fisik manusia. Itu merupakan daya kuasa jiwa kita, sang Maha Guru yang ada di dalam diri kita, yang mengetahui segala sesuatu, mendengar segala sesuatu, di segala tempat.

Itulah apa yang harus kita temukan. Karena kita merupakan Maha Guru dari segala alam semesta, dapatkah Anda bayangkan betapa akbarnya Anda, dan bagaimana Anda menjalani kehidupan Anda sekarang? (Guru mendesah.) Itulah kenapa saya merasa kasihan dengan Anda. Anda datang ke sini untuk mendengarkan saya, tapi sebenarnya Anda tidak harus melakukannya! Kita adalah sama, kita sama persis, dan kita memiliki daya kuasa yang sama. Anda bahkan tidak perlu menghormati saya; itu sungguh sesuatu yang menyedihkan. Anda mengetahuinya jika Anda menerima apa yang saya katakan dan lalu Anda mengetahui apa yang saya ketahui, apa yang Yesus ketahui, apa yang Buddha ketahui.

Tanya: Apakah perbedaan antara ketika kita meditasi pada cakra bagian bawah dengan meditasi pada cakra di dahi?

Guru: Cakra berarti pusat energi dalam Bahasa India. Cakra berarti pusat. Jadi setiap pusat energi pada tubuh memiliki kekuatan yang berbeda. Kita mempunyai banyak cakra; seperti cakra di telapak kaki, cakra di lutut, cakra di organ seksual pria dan wanita, cakra di dalam perut (solar plexus), cakra di jantung, cakra di tenggorokan, cakra di dahi, dan sebagainya. Jadi semakin tinggi pusat konsentrasi kita, semakin cepat kita pergi ke dalam dimensi yang lebih tinggi. Jika kita berkonsentrasi dari bawah satu per satu, kita juga akan naik pada akhirnya. Tetapi itu akan memakan waktu bertahun-tahun lamanya, dan mungkin kita bisa mati sebelumnya.

Meraba Aura secara PRANA

cara yang sederhana adalah mengaktifkan cakra tangan dengan menghirup nafas dalam-dalam. kemudian 10 detik tahan, bayangkan prana/energi alam masuk ke tangan, buang nafas sampai habis, kemudian tahan 10 detik bayangkan prana masuk ke tangan, ulangi siklus ini 3 kali dan bayangkan cakra tangan membesar dan semakin sensitif. Maka tangan akan sensitif dalam meraba aura seseorang.

Doa Pamanih

Bis...
minyak aku si kuran-kuran
talatak dirancuang dayuang
tagakku seperti bulan
duduk aku seperti payuang
bulan per limo dimuko aku
bintang si mabua di kaniang aku
reno berdiri didada aku
hai manih saridan manih
bukan toh saridan manih
akulah nan saridan manih
manih sampai ka bumi
manih sampai ka langit
dipandang [si...(khusus)]/[si maan jando banyak(umum)]
barakai' la ila ha illallah

Ilmu Selamat dari MINANG

Bismillahirrohmanirrahim
Tubuhku Adam
nyawaku Muhammad
La illa ha illallah Ha'
katopun tiado berkato
kato Allah kato Muhammad
kato bagindo rasulullah
aku mangako' ha' Tuhan
di dalam diri batang tubuhku
masuak masukin aku dalam kadi rambunjali
dalam katibim hadaniyah
uju' la illa ha illaulah
Allah tiado basuo Tuhan tiado kelihatan
ah haniang
la illa ha illallah
hu Allah

Ilmu Mengatasi Luka Bakar

Yaa nunnatii
Muthlaq muthlaq muthlaq
Sijuek bak ie, leupie ban timoh

Tatacara:

Dibaca pada telapak tangan, diludahkan kemudian diusap ke luka bakar.
Kalau untuk atraksi, telapak tangan yang sudah dibaca insya Allah bisa dipakai untuk menggoreng langsung (krupuk, ikan.. apa aja) dalam minyak panas, asalkan tidak terkena besi (dasar kuali).

Ilmu Gayung Api

Ruh quddus ruh qudsiy, ruh idhlafi cahaya Allah.
Lon tueng beurkat mu'jizat nabi, beu-ek lon ungki syarat ngon meuntra.

Ho ka gata ei hai gayung, nyang dudok bak pinto neuraka tujoh.
Tron hai meutuah beh ta jak pajoh batang tuboh.
Musoh yang sitre keu Allah.
Musoh yang sitre keu Rasulullah.
Musoh yang sitre keu lon.

Ho ka gata ei hai gayung, nyang dudok bak pinto neuraka jahannam.
Tron hai meutuah beh ta jak pajoh batang tuboh.
Musoh yang dengki keu Allah.
Musoh yang dengki keu Rasulullah.
Musoh yang dengki khianat keu lon.

Falam taqtuluu hum laakinallaaha qatalahum wa maa ramaita idz ramaita walaakinnallaaaha ramaa (yaitu surat al-Anfal 17, baca yang fasih)

Lon masok lam kandong nawawi Allah, beurkat kalimah Laailaaha illallaah Muhammadurrasulullah.

Tatacara:
Dibaca sesanggupnya sesudah shalat hajat atau shalat malam dan sebanyak-banyaknya sebelum tidur malam hingga tertidur. Efeknya terasa panas yang merambat naik dari ujung jari hingga ke lutut, pusar atau bagian lain, lalu turun. Ini bakal terus terjadi hari demi hari hingga panasnya naik sampai ke ubun-ubun, artinya sudah sempurna. Waktunya tidak tentu, tapi insya Allah 7 jum'at kalau di amal terus menerus wajib sempurna.
Kalau sudah sempurna di badan, silakan mandi dengan sabun jeruk purut saja, tanpa sabun lain, minimal 1x.

Ilmu gayung ini jika digunakan pada musuh sifatnya membakar jantung dan organ dalam tubuh lainnya tanpa meninggalkan bekas di kulit. Cara menggunakannya cukup dengan diniatkan, tapi lebih afdhal apabila dilakukan dengan isyarat melempar. Untuk penawarnya, menggunakan ilmu Jruek Pulang Dakat

Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu

Dalam kitab Ramayana, alkisah ada seorang raja yang mengundurkan diri dan diserahkan pada anaknya. Raja tersebut yang menjadi Begawan Wisrawa, menyerahkan pada putranya Prabu Danareja di kerajaan Lokapala.
Di negeri yang lain, Alengka, diperintah oleh Prabu Sumali yang dibantu oleh adiknya Arya Jambumangli, dan puterinya yang sangat cantik sedang diperebutkan oleh para raja. Namanya Dewi Sukesih.
Setiap raja yang melamar Dewi Sukesih ini di bunuh (harus berhadapan dalam perang tanding) pamannya, Arya Jambumangli. Sehingga tak ada lagi raja-raja yang mampu mengalahkan pamanda Dewi Sukesih.
Satu-satunya raja yang masih ada ialah putera Begawan Wisrawa, Prabu Danareja. Namun raja ini kalah kuat ilmunya, kalah kuat oleh pamanda Dewi Sukesih. Oleh karenanya Begawan Wisrawa turun dari pertapaan.
”Ada apakah anakku, dalam tapaku, aku melihat kegelapan. Mengapa negeri ini, yang kita cintai, dalam kesengsaraan? Air bening untuk hidup rakyat tidak lagi ramah. Seluruh air kembali lagi pada sumbernya di bawah samudera. Bunga-bunga layu sebelum berkembang, buah yang ada pun tak sempat masak. Diapakan negeri kita ini, wahai anakku?”
”Wahai ayahanda, seluruh kehidupanku dirampas oleh cinta Dewi Sukesih, dan aku tak mampu memikirkan bangsa ini, negeri ini. Yang kupikirkan adalah kecantikan Dewi Sukesih”, berkata Prabu Danareja.
”Wahai anakku, Sang Dewa marah padamu. Karena engkau telah mematikan kesuburan negara ini dengan asmara, wahai anakku, jangan jadikan asmara ke dalam pekerjaan yang besar. Karena asmara adalah dunia kecil yang mampu menghancurkan dunia yang besar”, kata Begawan Wisrawa.
”Wahai anakku, jangan engkau melihat kebenaran-kebenaran yang ada di muka bumi ini, melalui perasaan asmaramu. Keluhuran nilai akan ternoda, tak bermakna, manakala diteropong oleh perasaan asmaramu. Namun demikian, aku ayahmu pernah merasakan perasaan asmara. Biar aku yang melamarkan, menyunting Dewi Sukesih. Ayahnya adalah sahabatku. Cintaku untukmu wahai anakku, biarlah aku, ayahmu mewakili datang ke kerajaan Alengka.”
Sesampainya Begawan Wisrawa di kerajaan Alengka, kebahagiaan batin dari raja Alengka, Prabu Sumali, menyatu dalam pelukan mesra dengan sahabatnya.
”Wahai sahabatku Prabu Sumali, ada apakah? Kesenduan di matamu tak mampu engkau sembunyikan”, bertanya Begawan Wisrawa.
”Wahai sahabatku Begawan Wisrawa, gara-gara anakku, darah para raja harus mengalir di negeri yang kucintai ini, Alengka.”
”Karena itu aku datang untuk menyunting puterimu, untuk anakku.”
Maka dipanggillah Dewi Sukesih oleh ayahandanya, dan diceritakan akan disunting oleh seorang raja dari Lokapala.
”Wahai ayahku, aku mau dikimpoi oleh seorang raja atau oleh orang miskin sekalipun. Asal mampu memedarkan, menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.”
”Wahai puteri sahabatku, calon suamimu, anakku, takkan mampu. Dan siapapun takkan mampu menerangkan Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu, kecuali aku. Harus kutebus makna ini dengan meninggalkan gemerlap kekayaan dan kekuasaan sebagai raja. Namun demikian, biarlah, untuk anakku dan untuk aku, akan aku pedar Sastra Jendra tersebut”, kata Begawan Wisrawa kepada putri Prabu Sumali sahabatnya.
Berkata Begawan Wisrawa pula pada sahabatnya, Prabu Sumali,
”Wahai sahabatku, akan aku bawa puterimu, siapkan tempat, sebuah taman sunyi yang hanya ada bunga Kenanga.”
Maka Begawan Wisrawa membawa Dewi Sukesih. Manakala masuk ke taman yang indah, Begawan Wisrawa memandang Dewi Sukesih dengan kecintaan seorang ayah pada anaknya.
”Kesinilah putriku.” Saat itu pula Dewi Sukesih merasa berdiri di bumi ini, dan dunia ini hanya ada di telapak kaki Dewi Sukesih dan Begawan Wisrawa, serta mampu menggapai bulan yang ada, tidak hanya satu, tapi tiga.
”Wahai Dewi Sukesih, engkau mampu menggenggam bulan. Keanggunan dan kemolekan bulan sejak dulu selalu menghina dan memperkecil makna duniawi. Namun dihadapanmu wahai putriku, sang bulan meronta. Cahayanya engkau ambil alih ke dalam jiwamu.”
Saat itu pula, Dewi Sukesih merasa retak hatinya. Sakit yang tiada sebab, seperti benci pada seseorang tapi tak ada orangnya. Resah oleh sesuatu tapi tak ada kesalahan, kesal akan sesuatu tapi tidak tahu sebabnya. Emosi bergemuruh dalam diri Dewi Sukesih!
”Wahai putriku, jangan engkau membiarkan gejolak emosimu menjadi tuan di dalam dirimu. Bulan yang angkuh tak berdaya, karena engkau ambil alih kemolekannya, dan energinya kembalikan pada bulan. Wahai puteriku, engkau tak mampu menerima kemolekan bulan, karena sang rembulan, cahayanya menjadikan bunga-bunga berkembang, menjadikan binatang-binatang memadu cinta, maka berkembanglah keturunan kelestarian alam ini oleh cahaya kekuatan rembulan. Jangan kau ambil alih kedalam jiwamu. Engkau adalah yang berdarah dan berdaging. Manakala kau menyimpan cahaya rembulan di dalam jiwamu, berarti engkau merampas hak hidup bagi hewan dan tumbuh-tumbuhan. Itulah sebuah permulaan dari Sastra Jendra, wahai puteriku.”
Maka Dewi Sukesih dengan kekuatan bathinnya, mengusir luka didalam bathinnya, kesakitan dalam perasaannya. Bulan yang redup, terampas cahayanya oleh Dewi Sukesih, kembali bersinar terang.
”Wahai Puteriku”, berkata Begawan Wisrawa, ”Sastra Jendra adalah bukan kata-kata, Sastra Jendra bukan kalimat, Sastra Jendra adalah ’sesuatu’ yang mempunyai wadah, tapi ada di alam dunia ini. Ada di bumi ini, ada dalam cakrawala dan ada dimanapun. Tapi Sastra Jendra tak mampu tertampung karena wadahnya belum ada.”
Manakala Begawan Wisrawa mengakhiri kata-kata ini, mengangkasalah keduanya, ke suatu tempat yang sangat jauh. Sampailah ke suatu tempat yang sunyi, mencekam!
”Wahai Puteriku, jangan menjerit, karena disini tiada siapapun. Tiada orang yang bisa dipanggil, tiada apa-apa tempat berpijak. Tidak ada sesuatupun permasalahan.”
”Wahai puteriku, disini kita tidak memiliki dan disini kita tidak dimiliki. Dan engkaupun disini tidak lagi memiliki dirimu sendiri. Dirimu yang berdarah dan berdaging, dirimu yang berjiwa dan berperasaan, adalah ketiadaan.” Demikian sang Begawan bertutur.
”Kita dalam ketiadaan, rasakanlah anakku, manakala engkau kehilangan rasa memiliki, termasuk dirimu sendiri. Kita dalam kematian. Kematian adalah melepasnya rasa memiliki. Dibalik kematian justru ada kehidupan yang sejati. Kehidupan yang tidak dapat lagi dialas oleh definisi, kehidupan yang tidak mulai dari awal dan tidak berakhir dari satu batasan. Itulah Jatining Hurip.”
”Wahai anakku, kematian adalah sebenarnya sebuah proses kehidupan yang lebih luas dari proses kehidupan sebelumnya, kita berada dalam kehidupan yang sejati. Tenang dan tentram, karena merasa tidak dimiliki dan tidak memiliki”, demikian sang Begawan.
”Wahai Puteriku, manakala engkau merasa memiliki, engkau akan menggugat pada yang engkau miliki. Dan merasa engkau dimiliki, engkaupun akan digugat oleh mereka yang merasa memiliki dirimu. Kini kita merdeka, kemerdekaan bathin dan perasaan yang tiada batas.”
”Wahai Begawan, dimanakah dewa-dewa?”
”Di sini tidak ada dewa, wahai Puteriku. Dewa pun tiada, hanya kita. Manakala engkau ingat pada dewa, berarti kita masih ’merasa’ ingin memiliki. Dewa pun tidak ada, hanya kita berdua.”
Maka Dewi Sukesih merasa tenang dan tenteram. Ketenteraman yang sangat tinggi dan indah, kesejukan bathin yang tiada tara. Maka mereka masuk lebih jauh lagi.
”Mari kita masuk lebih jauh ke angkasa ketentraman.”
”Kita akan kemana? Bukankah kita sudah sampai ke alam ketenteraman, wahai Begawan”, tanya Dewi Sukesih.
”Belum, diatas ketenteraman ada ketenangan, diatas ketenangan ada kemegahan kesejukan. Itu tidak terbatas, wahai Puteriku.”
”Dimanakah puncaknya, wahai Begawan?”
”Puncaknya, ada didalam cinta. Kita menuju cinta, wahai Dewi Sukesih.”
Maka sampailah ke suatu perbatasan. Alam cinta dimasuki.
”Anakku, kita masuk ke Sastra Jendra. Tiada alam diciptakan oleh Illahi, kalau bukan karena cinta. Manusia dan hewan tidak mungkin ada tanpa cinta. Alam raya takkan tercipta tanpa cinta. Kita masuk, wahai anakku ke dalam cinta. Itulah Sastra Jendra.”
Masuklah mereka ke alam cinta. [Dalam Islam, masuk ke alam Ar-Rohman]. Masuklah Dewi Sukesih ke alam cinta. Maka jiwa bukan lagi terbatas oleh rasa tenteram, dibatasi oleh rasa tenang saja. Tetapi jiwanya tiada. Ketenteraman melampaui Kebahagiaan. Tiada lagi dikatakan bahagia, tiada lagi dikatakan nikmat, tiada lagi dikatakan enak. Diatas segalanya.
Maka gelombang cinta itu menyibakkan rambut Dewi Sukesih yang berkonde. Rambut terurai, bergelombang begitu indah terhempas cinta. Cinta, bisa dirasakan, tapi tak bisa dilihat. Cinta, bisa dinikmati tidak melalui kulit dan daging. Karena saat itu, Dewi Sukesih tidak lagi memiliki dirinya sendiri. Cinta yang sesungguhnya, bisa diraba oleh sesuatu, manakala manusia kehilangan eksis fisiknya, eksis fikirannya dan eksisnya. Maka di alam itu, mengalirlah sungai yang bening. Sungai tak bernama sebagaimana sungai Eufrat, sungai Nil ataupun sungai Ciliwung. Namun sungai itu bening, sungai mengalir membawa energi cinta, kasih sayang.
”Wahai Puteriku, lihatlah sungai. Waktu tidak lagi bergerak, tapi waktu bergerak dibawa oleh kita. Seperti sungai yang melepas air-airnya, dia tetap diam. Waktu harus kita gerakkan, bukan kita yang digerakkan oleh waktu, wahai anakku. Walaupun sungai itu diam, tapi selalu baru. Kehidupan, wahai anakku, harus tetap baru. Usia menguasai kita, tapi kita akan tetap baru, jiwa kita dan perasaan kita. Kita tidak boleh harus tua oleh waktu, kita harus tetap muda, walau kita dirongrong oleh waktu. Kekuatan cinta tidak lagi termakan oleh usia. Tua dan muda, gagal menggoyangkan kemurnian cinta itu sendiri.” Demikian Begawan berkata pada Dewi Sukesih.
”Namun demikian sungai menurun, tidak pernah menanjak, wahai anakku. Lihatlah kehidupan. Kita jangan cari yang menanjak. Kita harus seperti sungai yang mengalir tanpa beban. Berbelok-belok dihimpit oleh gunung. Biasa, kehidupan harus terhimpit namun sekecil apapun himpitan gunung, sungai tetap mengalir, walaupun melalui celah-celah yang sempit.” lman tetap mengalir walau himpitan persoalan hidup seperti gunung yang menggencet.
”Wahai puteriku, jangan kalah, ngalirlah tetap. Kehidupan tetap mengalir.” Maka masuklah ke alam yang baru, lebih tinggi lagi. Di sana mereka tidak melihat masa lalu. Masa lalu tidak ada!
”Wahai Begawan, dimanakah aku waktu dilahirkan? Aku waktu remaja, saat bermanja pada Ayah dan Ibu?”
”Wahai Puteriku, masa lalumu tidak ada. Di sini tidak ada masa lalu, disini tidak ada bedanya. Masa lalu adalah kehidupan dunia. Di sini tidak ada masa lalu.”
”Wahai Begawan, manakah masa depanku?”
”Di sini tidak ada masa depan. Masa depan adalah kehidupan dunia, karena manusia dunia dirancang untuk bercita-cita, melihat masa depan. Dibangun oleh keinginan maka melihat masa depan, dibentuk oleh rencana kerja. Di sini Puteriku, tidak ada masa depan. Kita tidak ada lagi rencana keinginan, apa dan bagaimana. Di sini adalah keberadaan yang sesungguhnya. Bumi adalah bayang-bayang kita dalam kehidupan. Itulah Puteriku”, kata Begawan Wisrawa.
”Kalau demikian, wahai Begawan, apakah ’kerinduan’? Sedangkan aku merindukan masa depan yang lebih baik. Masa depan adalah kerinduan, dimanakah kerinduan. Ditempat ini tidak ada, wahai ayahku.”
”Wahai Puteriku, Kerinduan di sini tidak ada. Tapi ada dalam bathinmu dan jiwamu. Kerinduan akan sesuatu, ada dalam jiwamu. Dan dalam jiwamu lebih besar, lebih agung, lebih hebat dari alam ini, wahai anakku. Itulah Sastra Jendra. Sastra Jendra adalah kerinduan yang tersembunyi dalam bathin. Kerinduan bukan kepada anak isteri, kerinduan bukan pada suami, kerinduan bukan pada kekasih, kerinduan bukan pada harta dan kekuasaan. Kerinduan kepada sesuatu, dimana sesuatu itu pun kita tidak tahu. Itulah Sastra Jendra, wahai anakku.”
[Kerinduan ini dalam Islam dikatakan sebagai kerinduan dalam Nurani] Nurani yang ada pada setiap manusia yang dilahirkan ke dunia. Dalam Al-Qur’an, ”Bahwasanya setiap bayi yang dilahirkan berfitrah Islam, adapun kalau dia jadi Nasrani, Majusi dsb, itu adalah kesalahan orang-tuanya.” Fitrah Islam/Nurani, inilah yang menjadi dasar lman bagi setiap manusia.
Maka, ”Wahai Puteriku, bila engkau merindukan sesuatu, jangan disini. Di sini tidak ada masa lalu dan masa depan. Di sini tidak ada keinginan dan harapan. Kembalilah kepada hati, wahai Puteriku. Hatimu yang ada kerinduan.”
[Dalam Al-Qur’an, surah 2l:l3, ”Janganlah kamu berlari dan tergesa-gesa, kembalilah kamu kepada nikmat yang telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu (yang baik) supaya kamu ditanya”]
”Masuklah kembali ke dalam hati, di sana ada kerinduan. Di sana ada kehidupan yang sesungguhnya, wahai Puteriku.”
Maka sang Dewi masuk ke dalam bathinnya sendiri, ke dalam perasaannya sendiri. Maka dijemputlah sang Dewi oleh cahaya gemilang, gemerlap sinar yang keindahannya melampaui cahaya matahari. Dan seluruh cahaya matahari di alam raya padam, tiada arti oleh cahaya yang datang dari bathinnya sendiri.
”Wahai Begawan, cahaya apakah itu?”
”Itu adalah cahaya dari yang engkau rindukan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku.”
Manakala cahaya tersibak, disana ada Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang tersembunyi, kebijaksanaan yang tersimpan dari ribuan lapis perasaan hati. Kebaikan hati, keikhlasan, kepasrahan, itu adalah membentang rapat menutupi Kebijaksanaan.
”Wahai Puteriku, sibaklah hati pasrahmu, Puteriku, sibaklah hati kebaikanmu, sibaklah hati keikhlasanmu maka ada Kebijaksanaan. Kebijaksanaan ada di tempat yang paling dasar dari sibakan keikhlasan. Sibaklah hati yang baik.”
”Mengapa demikian wahai Begawan?”
”Karena kebijaksanaan adalah tetesan dari kesakitan yang tak mampu lagi menimbulkan luka. Dari kesakitan yang tidak lagi memberikan hujan duka. Dari tetesan kesenangan yang tak mampu lagi menggembirakan. Kegembiraan dan duka, punah! Itulah kebijaksanaan, wahai Puteriku. Itulah Sastra Jendra.”
”Kebijaksanaan”, kata Sang Begawan, ”Seperti malam bersayap siang, seperti siang berparuh malam. Seperti kematian yang berkafankan kehidupan. Seperti kehidupan yang berselimutkan kematian. Rembulan di siang hari, matahari di malam hari, itulah kebijaksanaan. Itulah Sastra Jendra, wahai Puteriku.”
Sang Dewi pun tenggelam dalam kebijaksanaan. Di alam itu, sang Dewi muncul lagi rasa sengsara yang tak bertepi. Rasa duka yang luar biasa, Namun, manakala rasa kesakitan yang tinggi, muncul dalam jiwanya, tiba-tiba, tanpa proses. Tenang...senang yang melonjak! .....Terus demikian! Antara sakit dan senang diubah tiba-tiba. Proses psykologi yang tak mampu menampung perubahan yang sangat hebat. Dari sakit ke senang, dari duka ke tenang, dari resah ke aman, tiba-tiba. Terus demikian berganti-ganti.
”Wahai Begawan, apakah ini?”
”Ini adalah tangga-tangga menuju jagad raya, yang tak bertepi. Kita datang ke suatu tempat, Sumber Pencipta Alam Raya ini. Anakku, tangga-tangganya berlapis kesengsaraan yang tidak terhingga dan kebahagiaan yang tak terhingga.” Sang Dewi pun masuklah.
Manakala jiwanya tak terkecoh oleh duka dan senang, oleh rasa dan tenteram. Masuklah ke suatu alam, dimana di alam ini semuanya tidak ada lagi proses permulaan dari kejadian. Proses awal dan akhir. Maka Sang Dewi merasa malu kepada dirinya sendiri. Yang tadinya bangga dengan dirinya, bangga dengan kecantikanya. Saat itu, sang Dewi malu pada dirinya sendiri dan malu kepada alam, keadaan alam saat itu.
”Wahai Begawan, aku malu pada diriku.”
”Wahai Puteriku, manakala engkau malu pada dirimu berarti engkau kembali kepada kehidupan yang sesungguhnya. Manakala engkau malu pada alam ini, engkau sebenarnya kembali pada sumber awal kehidupan. Engkau berangkat dari sini, wahai anakku, dilahirkan ke bumi.”
”Aku pun malu yang tidak mengerti”, berkata sang Dewi.
”Wahai Puteriku, pengertian malu adalah malu pada Penciptamu. Ada disini Pencipta kita, kita tidak bisa melihat. Tapi kita ada dalam genggaman sang Maha Pencipta. Kita sedang berenang di Samudera keillahian, wahai Puteriku.”
Tidak lama kemudian, Dewi Sukesih menemukan keindahan, keindahan sebuah permulaan. Dimana segala sesuatu tidak lagi melalui pengertian. Pengertian yang tidak perlu dipelajari.
Pengertian tidak perlu dipelajari, perasaan-perasaan rasa tidak lagi harus dibuat. Dia sampai pada puncak keindahan tiada tara.
”Wahai anakku, kita sudah sampai pada puncak kebahagiaan. Tiada lagi kebahagiaan selain di tempat ini, wahai anakku. Kebahagiaan yang tak bisa dipetik dengan ilmu. Kebahagiaan ini, tak bisa dipetik, dipanen dari amal ibadah. Kebahagiaan yang bukan dipetik dari pengorbanan. Itulah puncak kebahagiaan.”
”Wahai Begawan, bilamana kebahagiaan ini yang bukan dipetik dari pengorbanan, apakah itu?”
”Itu adalah ’Hayuningrat’ anakku, Sastra Jendra Hayuningrat. Hayuningrat adalah kebahagiaan bukan yang dirintis dari keinginan berbuat baik, tapi Hayuningrat adalah ’Izin Illahi’ dalam memberikan sesuatu. Bukan keinginan kita, bukan jerih payah kita, Kehendak-Nya. Itulah Sastra Jendra Hayuningrat, wahai anakku.”
Hayuningrat adalah penyerahan diri total. Kebahagiaan yang begitu meresap ke dalam jiwa sang Dewi. Maka muncul kebahagiaan baru yang berlapis-lapis. Tambah mengangkasa tambah indah. Ternyata kebahagiaan pun berlapis-lapis tak bersisi, kebahagiaan yang tak ada limitnya.
”Wahai Begawan, kita menuju kemana?”
”Kita arungi kebahagiaan yang tak bertepi.”
”Apakah.....apakah ada tempat puncak?”
”Ada, puncak kebahagiaan.”
”Bagaimanakah cara sampai ke sana, wahai Begawan”,
”Wahai Puteriku, adakah sisa perasaan dalam hatimu untuk dipersembahkan?”
”Ada.”
”Apa?”
”Aku rindu kepada Tuhan.”
Dewi Sukesih merasakan, kebebasan sebebas-bebasnya tanpa rasa kekangan dari perasaannya sendiri. Artinya, setiap manusia mengalami himpitan dalam mengarungi kehidupan. Namun saat itu, Dewi Sukesih terbebas dari apapun yang menghambat dalam perasaannya. Dia terbang di alam Yang Maha Merdeka, Maha Sentosa, Gemah Ripah Loh Jinawi. Angkasa kebebasan yang sangat demokrasi.
”Wahai Puteriku, terbanglah sejauh-jauhnya, kepakkan sayapmu.”
Maka Dewi Sukesih terbang yang sebebas-bebasnya, seperti merpati yang mengarungi angkasa luas.
”Namun Puteriku, jangan terlalu jauh dalam terbang. Sejauh-jauh merpati terbang, akhirnya akan lelah jua. Sebelum lelah engkau harus kembali.”
Dewi Sukesih merasa sebagai manusia yang punya harkat, merasa dirinya mempunyai makna. Betapa dekat dengan yang menciptakannya, kasih sayang-Nya, terasa membeli jiwa. Sang Dewi merasa mendapat titah dari Hyang Widhi, dan merasa seolah-olah dirinya tidak berhak lagi hidup di dunia. Dirinya enggan pulang ke bumi.
”Wahai Puteriku, jangan munculkan perasaan itu. Di sini adalah hak setiap manusia, di sini adalah hak setiap makhluk. Namun bumi pun adalah hak kita. Sekalipun engkau merasa tidak berhak lagi di dunia, namun fisikmu, dagingmu masih terikat oleh hukum dunia. Kematian masih memijak alam bumi ini. Engkau tidak akan mampu jauh di alam kebahagiaan ini, sedang kau masih punya raga di dunia. Jangan lupakan itu”, berkata Begawan Wisrawa.
Terus sang Dewi mencoba berusaha melupakan duniawi. Dunia terlalu hina dirasakan, niat baiknya sering dinodai.
”Wahai Begawan, segala keinginan yang baik selalu terjegal oleh noda dunia, aku enggan kembali ke bumi. Setiap pengorbanan yang kupersembahkan dengan ikhlas, selalu dihina oleh mereka yang hidup di dunia. Wahai Begawan, setiap bunga-bunga dihatiku kuungkapkan dalam kerinduan kepada rakyat, kepada mereka, kepada yang aku cintai. Namun mereka tidak pernah melihatku bahwa aku mempersembahkan keindahan, keikhlasan kepada mereka. Aku muak kepada dunia yang penuh kehinaan dan kekotoran.”
”Wahai Dewi Sukesih Puteriku, jangan engkau merasakan perasaan itu. Usirlah, rasa menghina bumi. Karena bumi, Tuhan pula yang menciptakan, sama pula menghina Tuhan, kalau engkau menghina dunia atau bumi. Stop gejolak penjelajahan perasaan seperti itu. Kita masih di dua alam. Keterikatan dengan bumi dan mengarungi hak kita di alam jagad ini.”
Namun Dewi Sukesih nakal, tetap diarungi. Tidak mau kembali ke dunia. Tiba-tiba keresahan bergelombang kembali. Keresahan bukan berasal dari alam keindahan ini. Alam surga Nirwana yang maha nikmat, tetap dengan segala keindahan dan kesempurnaan. Keresahan dan gejolak pilu datang dari bathinnya sendiri. Resah, merasa kotor, merasa terhina, ternoda.
”Wahai Begawan, aku merasa malu. Bukan malu seperti dulu, tapi aku malu kehinaan diriku. Betapa aku kotor di tempat ini, aku tidak pantas di tempat yang suci ini, wahai Begawan. Aku tidak pantas di tempat yang Agung ini, karena aku ternoda, karena noda itu aku sendiri yang menciptakan, wahai Begawan. Kenapa demikian wahai Begawan?”
”Wahai Puteriku, engkau, aku, memang datang dari noda, berangkat dari noda. Berangkat dari kesalahan, pergi menuju ke kesalahan. Kita menyimpan jagad kesalahan dalam diri kita, walau di tengah surga yang indah ini.” Demikian Begawan Wisrawa berkata. ”Karena itu Puteriku, engkau harus ’diruwat’, supaya Tuhan mensucikan jagad kita yang ternoda. Pangruwating. Karena dalam jiwa kita penuh nafsu dan amarah. Angkara murka yang tak bersisi, keserakahan yang tak berbentuk lagi. Itu harus diruwat oleh Illahi. Pensucian jagad kita, karena kita tetap dalam kekotoran, walau kita mengangkasa di jagad keindahan yang sangat permai, yang sangat suci, yang sangat agung”, Begawan Wisrawa meneruskan keterangannya.
”Marilah kita kembali, Sastra Jendra sudah kupedar, Hayuningrat sudah kupedar, Kita harus kembali ke bumi, segera! Supaya Hyang Widhi mensucikan jagad kita yang sudah kelam dalam kekotoran dan noda.”
Namun karena keindahan yang luar biasa. Terhanyutlah sang Dewi Sukesih dengan Begawan Wisrawa sendiri, hingga sampai ke gerbang Kahyangan, pintu surga, pintu Nirwana, tempat para dewa bersemayam. Gerbang ini dinamakan Sela Menangkep (Dalam Islam, gerbang Ar-Royan) pintu masuk surga. Menjelang gerbang Sela Menangkep, maka goyanglah jagad tersebut. Jeritan-jeritan Raksasa datang. Berjuta raksasa datang, hawa nafsu-hawa nafsu membentuk berjuta raksasa-raksasa. Aroma bau. Bau kematian. Lebih bau daripada mayat basah. Erang harimau raksasa. Kemarahan para raksasa bergelombang.
”Wahai Puteriku, raksasa itu tidak ada di jagad ini, digerbang Kahyangan ini. Itu ada dalam jagad dirimu. Kecantikan wajahmu, itu mengerang seperti harimau. Sesungguhnya kecantikan adalah harimau. Senyummu sebenamya erangan harimau, keindahan tubuhmu sebenarnya raksasa yang buruk muka. Kemarahan mereka, sebenarnya kemarahan dirimu, wahai Puteriku, yang ada di jagad ini. Dan bau yang melampaui bau mayat yang basah, itu hatimu sendiri. Karena manusia tak mampu melepaskan dari rasa persaingan sesamanya, tidak mau melepaskan dari keterpenjaraan benci, kebencian. Perbedaan kebenaran saja, walaupun kebenaran yang sama, itu menimbulkan kebencian. Itulah bau yang sangat buruk, aroma mayat yang rusak, wahai Puteriku. Dan kau masih memiliki hati itu.”
Dan tiba-tiba muncul roh-roh halus, lembut, merekah beraroma sangat wangi, melampaui aroma wangi-wangian apapun. Berpakaian manik-manik putih, berbusana putih murni.
”Itu tidak ada dalam jagad ini, itu ada dalam jagadmu, wahai puteriku. Itu adalah rukhmu, kesucianmu, kelembutanmu. Engkau memiliki kemurnian dari Rukh yang suci.”
Dan tiba-tiba raksasa yang jahat berperang dengan rukh yang suci. Peperangan saling mengalahkan, tiada yang menang, tiada yang kalah. Rukh suci dikalahkan oleh rukh jahat, maka rukh suci bangun kembali seketika. Begitu pula sebaliknya. Maka peperangan tidak lagi dibatasi oleh kemenangan, juga tidak diakhiri oleh kekalahan.
”Wahai anakku, itulah kehidupan dunia. Tidak akan ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Cepatlah kembali pada kehidupan dunia., wahai Puteriku.”
Maka rukh halus dan rukh jahat hilang, yang ada adalah jagad ketenangan dalam hatinya, Kemudian muncullah kekuatan, berupa sinar yang datang dari dada Dewi Sukesih.
”Puteriku, itulah Kencana Rukmi. Diantara keinginan menang, diantara takut kalah, ada sesuatu yang netral. Yang tidak ingin menang dan tidak ingin kalah. Itulah Kencana Rukmi dalam dadamu. Kencana Rukmi inilah tempat paling aman, tempat yang paling menyelamatkan. Di sini di Kahyangan engkau tenteram dan aman. Di bumi pun dengan Kencana Rukmi ini kamu akan selamat.”
[Dalam Islam, Kencana Rukmi adalah Taufik, Hidayah, Irsyad dan Tasydid]. Kencana Rukmi, mengikis habis keresahan di malam.hari, kekelaman jiwa dalam kegelapan. Kencana Rukmi memotong harapan-harapan illusi dari sebuah harapan kosong tentang kenikmatan. Kencana Rukmi membenarkan kenyataan haq dan menyalahkan kebenaran semu. Karena Kencana Rukmi, laksana sinar yang datang dari sumber Illahi, tembus sampai ke dasar bumi.
”Ikutilah wahai Puteriku, cahaya itu. Kencana Rukmi alat untuk mengarungi kehidupan. Cahaya dari ALLAH, cahaya Illahi yang sampai ke dasar hati.” [Dalam Islam, Ihdinas shirothol Mustaqim]
Begawan Wisrawa dengan Dewi Sukesih tambah tinggi-tambah tinggi, mengarungi lapisan-lapisan kebahagiaan yang tiada tara, melampaui ketenteraman dan kedamaian. Makna ketenteraman dan kedamaian itu adalah ”sela” atau batasan kecil dari rasa aman di muka bumi. Tapi dijagad tersebut, di perbatasan alam Kahyangan, kedua orang ini terhanyut oleh alam kebahagiaan. Di mana alam kebahagiaan ini memiliki satu kenikmatan yang tak terhingga, walau masih kosong atau sepi dari energi Ke-Illahi-an. Berarti alam Kahyangan atau alam surga adalah jagad nikmat kebahagiaan yang mengandung energi ke- Illahi-an.
”Wahai Dewi Sukesih”, kata Begawan Wisrawa, ”Kita harus kembali secepatnya ke bumi.”
”Mengapa demikian wahai Begawan?”
”Karena kita ini masih memiliki raga. Di sini, di alam Kesucian tidak ada alatnya untuk mensucikan tubuh kita. Dan tiada mampu alam ini mensucikan jagad kotor yang kita simpan dalam jiwa kita. Sekalipun dunia penuh noda tapi di sana tempatnya ’pensucian’, tempat ’meruwat’.”
”Namun Begawan, saya tak mampu melepaskan kerinduan yang sangat kepada sesuatu yang ada di balik Kahyangan. Kita harus masuk ke pintu Kahyangan”, kata Dewi Sukesih.
”Apakah wahai Begawan, yang menarik jiwa ini untuk masuk ke Kahyangan. Walau pikiranku tidak merindukan kenikmatan Surgawi. Tidak merindukan kenikmatan Kahyangan. Bathinku merindukan yang menciptakan Kahyangan itu sendiri. Apakah itu, wahai Begawan?”
”Itu adalah ’Budi’, jawab Begawan Wisrawa, ”Budi yang ada dalam jiwa kita, yang tersembunyi, karena Budi berangkat dari Ke-Illahi-an. Maka, meronta, bergerak, selalu menuju pada sumber Ke-Illahi-an.”
Maka manakala menjelang Sela Menangkep, pintu Ar-Royan, pintu surga terbuka, dengan kegembiraan yang sangat, sang Dewi masuk. Yang tadinya Begawan menasehati untuk mengajak pulang, sang Begawan pun tersedot untuk ingin masuk ke pintu Kahyangan tersebut. Maka bumi berguncang-guncang, evolusi matahari berubah, alam raya, acak! Samudera menggelegar, banyak permukaan bumi tergenang air laut. Daratan menjadi lautan. Para raksasa yang tadinya gagah, menangis pilu. Rukh jahat mengerang kesakitan, meronta, memanggil-manggil Hyang Widhi. Memanggil-manggil Tuhannya. Maka yang tadinya raksasa-raksasa dalam jagad sang Dewi pun keluar, masuk ke Kahyangan. Menghalangi pintu-pintu Surga.
”Wahai manusia, belum saatnya engkau meninggalkan dunia. Kasihan bumi kau hina, kasihan bumi kau injak-injak, kasihan bumi kau lecehkan”, kata raksasa-raksasa dan rukh-rukh jahat lainnya.
Para Dewa pun resah!
Maka Batara Guru mengumpulkan para Dewa, para Batara dan para Bidadari. ”Jagad kita, jagad Nirwana ini mulai terancam”, kata Batara Guru. ”Ada anak manusia mencoba masuk kesini, melalui tangga-tangga Sastra Jendra Hayuningrat. Kita harus menutup pintu masuk ini, karena mereka belum saatnya masuk ke Indra Prastha yang kita cintai ini.”
”Wahai Batara Guru, siapakah yang datang?” bertanya Batara Narada.
”Dua anak manusia, perempuan dan laki-laki”, jawab Batara Guru.
”Wahai Batara Guru, kita tidak perlu resah. Tempat kita Kahyangan ini mana mampu dimasuki oleh manusia sebagai perempuan dan laki-laki. Di sini tidak ada batasan perempuan dan laki-laki, kita tidak perlu resah. Dua manusia itu belum saatnya masuk Kahyangan”, Batara Narada melanjutkan keterangannya, ”Karena walaupun mereka sudah masuk ke Sastra Jendra, tetapi di balik hatinya yang terdalam masih merindukan dosa-dosa, masih merindukan noda-noda. Walaupun mereka sudah hening dari kerinduan-kerinduan itu sendiri.”
”Wahai Dindaku”, berkata Batara Guru pada isterinya, Betari Uma, ”Bagaimanakah pendapatmu, tentang dua orang yang mencoba memasuki Kahyangan ini?”
”Wahai Kakandaku, walau aku wanita tapi di sini aku kehilangan kewanitaanku. Karena kewanitaanku sudah kukorbankan dalam Sastra Jendra yang panjang. Aku dihadapanmu wahai suamiku, bukan lagi feminim. tapi aku adalah aku sebagai sumber awal kehidupan”, jawab Betari Uma.
”Dan bagaimanakah dengan Dewi Sukesih yang mencoba masuk ke Kahyangan ini?”
”Biarlah, dia masih membawa keangkuhan wanita, sang Begawan pun masih membawa keangkuhan pria. Bukankah Nirwana ini dibentengi oleh keangkuhan rasa wanita dan keangkuhan rasa lelaki? seperti aku, wahai suamiku. Sewaktu aku pernah ke bumi”, kata Betari Uma selanjutnya, ”Perempuan di puncak keanggunannya, di puncak kesuciannya. Taman bunga di jiwanya, taman bunga di dagingnya, taman bunga di perasaannya. Bunga-bunga Menur tercuri oleh lelaki. Maka wanita tak merasa tercuri kesuciannya oleh lelaki. Bunga Menur, aku pun tercuri oleh lelaki saat di bumi. Namun aku tak mampu, tak bisa, merampas bunga Menur. Karena keperawanan bukan dua kali, hanya sekali. Keperawananku dicuri lelaki. Seperti seorang gadis yang tidak tahu, bunganya telah dicuri dari Taman hatinya. Rasa ego wanita, merasa tak tercuri kesuciannya. Karena rasa ego wanita, dirinya harus mempersembahkan kepada sang suami. Itulah cinta yang aku rasakan sebagai penduduk bumi, wahai suamiku.”
”Begitupun seorang lelaki, wahai isteriku”, berkata Batara Guru, ”Setelah mencuri bunga Menur dari Taman hati seorang wanita, seperti lebah yang kehilangan sengatnya. Jangan harap mereka mampu menikmati Surga, karena mulutpun mereka tak punya, [Hal ini harus disimak dari kejadian ”Tragedi qolbi”]. Lelaki datang ke surga mau menikmati kenikmatan Surgawi, namun seperti kumbang yang datang pada bunga raksasa penuh madu, tapi tak punya alat untuk menghisap. Karena isapannya cuma satu, sudah digunakannya untuk mencuri bunga Menur dari taman hati seorang gadis.”
”Dimanakah Sastra Jendra wahai suamiku? Manakala seorang wanita kehilangan bunga Menurnya, dan saat lelaki kehilangan sengatnya?” ”Sastra Jendra tetap ada”, jawab Batara Guru, ”Menunggu sampai mengerti, kenapa kehilangan bunga Menur dan kenapa kehilangan sengatnya. Tetap tidak berakhir kesempatan untuk meraih Sastra Jendra, wahai isteriku.”
Maka seluruh makhluk di alam raya, berbondong-bondong datang. Diantaranya ada Warudoyong, Pocong, Singabarong, Jerangkong (rukh-rukh yang belum sempat memiliki fisik).
Warudoyong adalah sejenis rukh yang mendambakan fisik, untuk makan tidur.
Singabarong, perlu fisik untuk menyatakan cintanya, untuk menyatakan kebenciannya.
Pocong adalah bentuk rukh yang mendambakan fisik, daging dan darah, supaya kelaminnya bisa kimpoi, untuk menikmati seksual. Mereka merasakan sensual, tapi tak punya kelamin karena tak berfisik.
Jerangkong, perlu fisik untuk bisa menyayangi, untuk bisa membunuh, untuk bisa menyiksa sesamanya.
Adapun rukh-rukh marakayangan, yang pernah hidup di dunia, namun kematiannya masih membawa nafsu secara sempurna.
Brakasaan, Banaspati, Gandarwa dan seluruh rukh-rukh baik yang tidak punya fisik, yang pernah punya fisik, rukh-rukh marakayangan, para diyu dan para jin, kumpul. Demonstrasi!
”Wahai Sang Dewa Batara Guru, jangan biarkan dua anak manusia ini masuk, karena kalau mereka masuk dunia akan hancur. Kami belum siap memiliki daging dan darah, wahai Dewa Batara”, berkata rukh-rukh yang belum sempat mempunyai fisik.
”Wahai Dewa Agung, jangan biarkan dua anak manusia ini masuk, karena aku masih ingin lahir kembali ke dunia. Walau sempat hidup di dunia, aku tidak bosannya bergumul dengan darah dan daging. Itu adalah kenikmatanku”, kata rukh-rukh marakayangan.
Maka darah-darah pun mengalir, darah yang aromanya bau, hitam dan kelam berkata, ”Wahai sang Dewa, kami adalah tetesan dosa , kami menangis. Walaupun dunia tidak hancur, manusianya kehilangan kerinduan kepada aku. Bukankah wahai sang Dewa, kerinduan seksual adalah menghisap darah, Kerinduan kelamin adalah penyimpanan darah? Bukankah memakan harta yang lain adalah menghisap darah, dan mengkhianati yang lain adalah berenang dalam darah? Kami adalah darah-darah yang masih punya hak bergenang di bumi. Jangan engkau biarkan darah tidak dirindukan lagi oleh penduduk bumi.”
”Wahai Kakanda”, berkata Batara Guru pada Batara Narada, ”Bagaimanakah cara membendung mereka supaya tidak masuk ke kahyangan ini?”
”Wahai Dindaku, Jagad Kahyangan ini akan mengusir mereka yang masih dibatasi oleh rasa lelaki dan rasa wanita. Memang mereka sudah terbebas dari rasa memiliki dan rasa dimiliki oleh siapapun dan oleh apapun. Tetapi mereka dipisahkan oleh rasa ke-dewi-an dari Sukesih dan ke-resi-an dari sang Begawan Wisrawa. Adindaku, cobalah mereka. Benarkah tidak menyimpan lagi batasan-batasan kerinduan untuk berbuat dosa lagi. Turunlah (masuklah) ke salah satu bergiliran”, kata Batara Narada.
Maka masuklah Batara Guru ke diri Dewi Sukesih, masuk ke alam jiwanya terdalam. Batara Guru tidak masuk ke jagad fikiran dan jagad rukhnya, karena jagad fikiran adalah dunia bumi dan jagad rukh, hanya milik Sang Hyang wenang Allah subhanahu wa ta’ala [tentang janji rukh pada Allah swt, Q. S. 7:l72 ’wa idz akhodzna robbuka min bani aadama, qolu balaa syahidna]
Begitu masuk kepada sentral terdalam jiwa dewi Sukesih, muncullah perasaan tertentu dalam diri Dewi Sukesih. Dipuncak kesucian dari jagad perbatasan Kahyangan, Keagungan dan Kesucian memadu dengan keagungan dari Begawan Wisrawa. Dalam pandangan Dewi Sukesih, betapa gagah, betapa agung, betapa indah akhlak yang dipancarkan oleh sang Begawan. Menimbulkan kekaguman yang sangat dalam pada perasaan sang Dewi sebagai wanita.
Keagungan jagad Nirwana yang suci, memberi sentuhan keagungan dari sikap Begawan Wisrawa. Maka terlihatlah laksana Dewa Batara Kamajaya, simbol kesempurnaan seorang lelaki (nabi Yusuf as, dalam Islam). Muncullah cinta asmara yang hebat pada sang Begawan, cinta dari anak ke Bapak, punah! Yang ada hanyalah sebagaimana cinta wanita pada pria. Rontaan-rontaan perasaan ini tidak kuat untuk diungkapkan.
”Wahai Begawan, Aku cinta padamu. Betapa engkau mempesona aku, betapa bertambah indahnya alam ini dan betapa bahagianya jiwa ini, sentuhlah kulitku ini, wahai Begawan.” Sang Begawan pun tersentak kaget!
”Dewi Sukesih anakku!..... Aku datang untuk anakku Danareja. Oh, Dewi Sukesih, kenapa pipimu yang merah dan indah itu harus dipoles oleh kembang api neraka? Dan alismu yang hitam, harus dihitamkan oleh abu neraka? Kulitmu yang halus, mengapa harus diperhalus oleh awan-awan nafsu yang kuning? Yang menyorot tubuhmu yang kuning.”
Maka pada saat Begawan Wisrawa bicara demikian, Dewi Sukesih kembali kepada jagad kesuciannya.
”Mohon ampun Begawan..... Mohon ampun raja Dewa. Aku tidak mengerti, kenapa tumbuh perasaan seperti itu. Dan akupun sadar, betapa aku belum pantas untuk masuk ke Nirwana yang Suci”, berkata sang Dewi dengan terbata-bata.
Begitu kesadaran kesucian dari sang Dewi muncul, Batara Guru terpental dari jagad jiwa Dewi Sukesih yang tersembunyi. Ternyata kekuatan yang terpancar dari kesucian bathin, lebih hebat, lebih sakti dari segala macam ilmu dan kesaktian apapun. Bahkan Batara Guru, seorang Dewa, bisa terpental! Dalam keterpentalannya, Batara Guru bicara dari jarak jauh kepada kakandanya, Batara Narada.
”Wahai Kakanda, betapa hebat kekuatan yang ada dalam kesadaran yang tinggi dari jagad bathin Dewi Sukesih. Memang pantaslah dia menjadi bidadari Surgawi. Pantas Dewi Sukesih menjadi raja dari segala Bidadari.”
”Memang benar wahai Dindaku”, kata Batara Narada, ”Dewi Sukesih lebih cantik dari semua Bidadari yang ada di Surga. Karena, bilamana manusia bumi mampu mencapai ketinggian harkat, itu melampaui kecantikan dan keindahan penghuni Surga itu sendiri. Manakala anak manusia mencapai ketinggian harkat yang suci dalam keikhlasan, suci dalam kepasrahan, suci dalam rasa memiliki dan dimiliki. Itu adalah lebih tinggi harkatnya dari harga Nirwana itu sendiri, harga Surga itu sendiri”, Batara Narada menerangkan.
Perasaan cinta sang Begawan sebagai seorang ayah, ternyata telah menyelamatkan dirinya dari belaian maut cinta asmara. Dan ternyata kalau cinta, suami isteri telah membuahkan anak, seharusnya ”menambah” kokoh cinta yang ada. Sehingga apabila saat-saat kritis menghadang, terutama dari hempasan badai asmara dari pihak ketiga, ataupun saat-saat kejenuhan mencengkeram jiwa masing-masing, maka cinta kepada anak adalah kekuatan yang agung, dalam menghadapi semua itu.
Ternyata sang Dewa Batara Guru, dalam harkat kedewaannya, sangat menaruh hormat atas kesucian bathinya.yang dimiliki oleh insan manusia.
”Namun demikian.....lupakah engkau wahai Dindaku, bahwa Dewi Sukesih datang ke tempat ini karena masalah mencari calon suami. Sekalipun sudah sampai ke Sastra Jendra, sampai pada puncak nilai dan kesucian. Tapi berangkatnya dari mencari suami. lkatlah keberangkatan mencari suami dengan kesucian Sastra Jendra maka Dewi Sukesih akan ditarik kembali oleh aibnya, dari kekuatan daya tarik bumi. Dan cobalah sekarang masuk lagi ke Begawan Wisrawa, masuk ke pusat jagad lelanang-nya Begawan, keangkuhan kelelakiannya, jagad kegagahannya. Munculkan tentang ’mandra guna’ kelelakiannya. Laki-laki ’Lelanang ing jagad mandra guna wiwaha’. Sekalipun Dindaku tidak merasa memiliki, tapi engkau mampu membawa ’lelanang jagad’ pada jagad kelelakian Begawan Wisrawa.”
Maka masuklah Batara Guru ke alam bathin Begawan Wisrawa, masuk ke pusat jagad lelanangnya (ego maskulin), keangkuhan kelelakiannya, jagad kegagahannya. Batara Guru terkagum-kagum melihat keikhlasan kelaki-lakian sang Begawan. Ternyata dengan sukarela sang Begawan memperlihatkan kekuatan jiwanya, karena mampu meninggalkan keangkuhan kelelakiannya. Ada suatu keindahan didalamnya, keindahan karena sang Begawan Wisrawa telah meninggalkan dirinya sebagai raja, meninggalkan dirinya yang berkuasa atas rakyatnya. Meninggalkan dirinya yang beristerikan seorang ratu. Dan telah meninggalkan semua unsur manusiawi, terutama naluri seksual.

Betapa Batara guru terpukau, terpesona, betapa indahnya! Kahyangan adalah jagad yang penuh dengan kenikmatan nan mempesona, namun jagad bathin sang Begawan ternyata lebih mempesona, lebih anggun.
Kekaguman Batara Guru diketahui oleh kakandanya, Batara Narada. ”Wahai Dindaku, kenapa engkau terpesona? Di jagad kita memang tidak ada pesona keindahan seperti itu. Jagad itu ada di atas jagad Kahyangan ini. Itu sangat dekat dengan Sang Hyang Wenang, sangat dekat dengan Yang Maha Tunggal, Yang Maha Esa, Tuhan kita semua. Jagad bathin yang ada dalam dada sang Begawan adalah jagad tertinggi dari surga. Jagad Illahi.”
”Wahai Kakanda, bagaimanakah cara aku menggodanya?”
”Engkau begitu terpesona sehingga engkau lupa, wahai Dindaku. Kau lupa bahwa jagad itu adanya dalam daging Begawan Wisrawa. Cobalah munculkan, jagad dagingnya, jagad diyu-nya.” Jawab Batara Narada.
Begitu dimunculkan jagad daging sang Begawan, bergetar syaraf-syarafnya, muncul perasaan aneh dari sang Begawan. Terlihatlah, wajah cantik nan rupawan Dewi Sukesih, bertambah cantik. Betapa keindahan jagad suci kahyangan bertambah indah dengan kehadiran Dewi Sukesih. Pesona Kahyangan pun bertambah mempesona oleh wajah dan keindahan tubuh Dewi Sukesih. Terungkaplah rontaan perasaan yang tak bisa lagi dikendalikan. Yang biasanya ”wahai anakku” tapi kini, ”wahai dindaku”
Dewi Sukesih tersentak, kaget!
”Wahai Dindaku”, mengapa kita tidak manunggal ? Manunggal dalam jiwa, manunggal dalam perasaan, manunggal dalam bathin. Manunggal dalam jagad fikiran dan jagad raga kita. Supaya engkau meneteskan darah dari rahimmu, supaya dunia bertambah indah oleh darah-darah yang indah. Marilah kita lewati malam pertama dari sebuah perkimpoian, supaya perkimpoian manusia di dunia tambah dirasakan indah. Dan menjadi dambaan tertinggi dari harapan kehidupan dunia.”
”Wahai Begawan, Aku melihat di matamu yang teduh, keluar mega-mega hitam dari nafsu seluruh manusia. Mengapa engkau ambil alih semua nafsu manusia yang ada di bumi? Yang katanya tak boleh dicela, wahai Begawan, walaupun engkau berhasil untuk tidak menghina dunia, namun kau ambil alih noda nafsu seluruh manusia di seluruh jagad bumi. Mengapa engkau isi mega-mega hitam itu dengan birahi? Yang telah engkau mampu padamkan. Dan engkaupun telah membawa obor birahi dari bumi, padahal aku tak melihat engkau mengambilnya dari bumi. Mengapa demikian, wahai Begawan?”
Tersadarlah sang Begawan.
”Wahai Maha Dewa yang ada di Kahyangan, betapa aku masih mensisakan rasa manusiaku, aku tak pantas menjadi penghuni Kahyangan. Izinkanlah aku dan Dewi Sukesih untuk segera kembali ke bumi, supaya kami tidak terjebak oleh sisa manusiawi kami, yang temyata masih kuat, teguh menjadi raja dalam jiwa kami.”
Begitu ada kesadaran yang suci dari sang Begawan, Batara Guruh terpental jauh. Tidak hanya keluar dari jagad bathin sang Begawan, namun terus jatuh di hadapan Batara Narada di Kahyangan. Ternyata ada kekuatan yang dahsyat dari miniatur Surga yang ada dalam jagad bathin sang Begawan.
”Wahai Dindaku, ternyata engkau masih tetap kalah oleh mandragunanya kekuatan manusia bumi”, berkata Batara Narada yang nampak kekagetan di paras mukanya.
”Mengapa demikian Kakanda?”
”Karena Sang Hyang Wenang Hing Murbeng Agung, pencipta kita. Walaupun marah kepada penduduk bumi (perpanjangan dampak tragedi qolbi), namun masih menyimpan kekuatan kekuasaan-Nya, yang tersembunyi dalam nurani manusia. Yang tidak diberikan kepada kita.”
”Kalau demikian Kakanda, Sang Begawan sangat pantas menjadi penghuni Kahyangan ini.”
”Lebih dari pantas”, jawab Batara Narada, ”Lebih dari kita para Dewa, lebih dari para Bidadari. Karena kita menjadi penghuni Nirwana ini adalah Titis Tulis Hyang Widhi, sekalipun menolak kita tetap menjadi penghuni Kahyangan ini. Kalau sang Begawan menjadi penghuni di sini, itu adalah karena perjuangan dari sebuah makhluk. Yang dilahirkan tanpa harkat, namun mampu meraih harkat. Itu adalah bagian pengembangan dari sisi lain Kekuatan Kuasa Illahi.”
”Kalau demikian berarti Sastra Jendra Hayuningrat bukan milik kita”, kata Batara Guru.
”Benar, kita tidak memiliki Sastra Jendra, walaupun Kahyangan ini adalah buah dari Sastra Jendra Hayuningrat. Sastra Jendra Hayuningrat adalah milik Hyang Widhi, milik Illahi, yang hanya diberikan kepada mereka penduduk bumi yang mampu mengangkat harkat dirinya. Baiklah dinda Batara Guru, sekarang engkau masuklah pada keduanya dalam kebersamaan dengan isterimu, Betari Uma. Bercintalah kalian dengan menggunakan fisik kedua anak manusia itu. Engkau tidak boleh lagi terpesona oleh alam jagad bathin keduanya. Langsung saja kembalikan diyu keduanya. Kita para Dewa punya hak dari Hyang Agung, untuk membangun ’diyu-diyu’ dalam jagad diri manusia.”
Batara Guru pun memanggil isterinya, Betari Uma. ”Wahai kekasihku, kita akan bercinta melalui raga dari kedua orang ini.”
”Wahai Kakanda”, berkata Batari Uma, ”Bukankah kita bercumbu di Surgawi ini tanpa harus bersentuhan fisik? Bukankah keindahan kenikmatan Illahi tanpa harus melewati kelamin? Dan kita tidak lagi memiliki kalamin, kenapa harus memakai kelamin mereka? Bukankah kita akan menodai kesucian yang telah lama kita lakukan.”
Ingatlah tentang kemurkaan Allah swt, saat terjadinya tragedi qolbi, dimana bahwa penciptaan alam raya dan isinya, melalui proses evolusi (Yaa-Siin), diciptakan dari proses pembuatan ”alat kelamin”. Sedangkan jasad Adam dikembalikan ke Sidrah, sebagai Atma. (Proses terusirnya Adam dari Surga)
”Duhai Dindaku, ini adalah demi kesucian Nirwana. Jangan sampai tersentuh oleh darah dan daging kedua orang ini. Kita usir mereka melalui percintaan kita.”
Maka masuklah Batara Guru dan Betari Uma ke dalam jagad jiwa Begawan Wisrawa, dan Dewi Sukesih. Batara Guru masuk ke alam perasaan lelaki sang Begawan, sedang Betari Uma masuk ke perasaan kewanitaan dari Dewi Sukesih. Begitu masuk ke jagad manusiawi keduanya, maka bergetarlah seluruh syaraf-syaraf inderawi keduanya, memunculkan perasaan aneh yang tak mampu dibendung oleh kedua orang ini.
Reaksi pertama muncul dari alam jiwa, alam pikiran dan alam fisik Begawan Wisrawa. Dirasakan oleh sang Begawan, dirinya seperti masuk ke suatu padang yang panjang. Dirinya sendiri menjadi kuda jantan yang gagah perkasa, berlari-lari dengan congkaknya. Maka energi birahi sang lelaki menimbulkan meregangnya semua syaraf dan pori-pori tubuh. Maka secara fisik dan dalam alam fikiran, alam jiwa, sang Begawan merasa menjadi kuda jantan yang gagah dengan otot-ototnya yang teguh serta urat-urat yang menegang. Resah! Diterpa birahi. Semakin meregang tubuhnya semakin keras pula keresahan yang menerpa. Melejitlah bak anak panah yang tersentak dari busurnya, sang kuda jantan berlari dengan desah nafas memburu dan keringat yang membanjir, mencari kuda betina! Sang kuda pun meringkik dengan kedua kaki depan terangkat ke atas, menendang, melompat-lompat, tak tahan atas desakan birahi yang maha tinggi, melampaui kekuatan keikhlasan dan keimanan jiwanya sendiri.
Kuda jantan semakin tegang, gelisah! Dalam larinya tidak saja tubuhnya yang menegang dengan urat-urat menonjol, otot kelaminnya pun meregang pula bersama dengan larinya kaki dipadang panjang yang terjal dan berliku. Betapa hebat udara birahi yang menerpa sang Begawan, birahi yang tidak pernah dirasakan, sekalipun dalam kehidupan remaja dan akil balikhnya. Sang kuda pun turun, naik, di setiap celah-celah gunung, jurang-jurang yang dilaluinya. Berlari terus bak kuda sembrani yang menjelajahi seluruh padang panjang kegelisahan, dengan satu tujuan, mencari kuda betina!
Maka jagad perasaan manusiawi sang Begawan dirasakan lebih sempurna dari puncak hawa nafsu manusia di bumi. Hal ini adalah disebabkan oleh Batara Guru sedang masuk ke pusat jagad manusiawi sang Begawan dan membangunkan, menggetarkan semua simpul syaraf dan indera sang Begawan. Para Dewa punya hak untuk bangunkan diyu-diyu hawa nafsu yang ada dalam jagad manusia.
Dalam waktu yang bersamaan, Betari Uma pun membangun nuansa-nuansa imajiner sang Dewi. Karena sesungguhnyalah bahwa birahi itu tak lebih dari ilusi/imajinasi belaka. Cuma karena imajinasi itu datangnya dari pikiran dan perasaan kita, maka seolah-olah itu adalah sesuatu yang nyata.
Maka Dewi Sukesih pun seperti wanita telanjang yang sedang mandi di telaga Taman Firdaus, telaga Nirmala. Kemudian tangan sang Dewi pun menyentuh-nyentuh tubuhnya yang telanjang, menimbulkan erotisme yang sangat tinggi. Lentik jemarinya pun menelusuri seluruh lekuk tubuhnya sendiri. Maka seketika kesucian alam Sastra Jendra Hayuningrat, punah! Bahkan sentuhan sibakan air pun mampu menimbulkan erotisme tersendiri. Berenanglah sang Dewi di telaga Nirmala, dipetiknya bunga-bunga yang tumbuh di atas telaga, sang bunga pun disentuh-sentuhkan pada tubuhnya, sehingga menimbulkan erotisme yang maha tinggi, erotisme yang tidak ada di dunia.
Ternyata benda-benda saja sudah mampu menimbulkan erotisme yang sangat tinggi bagi tubuh sang Dewi, tanpa apapun, tanpa kelamin laki-laki, tanpa pria! Dan betapa hebat nafsu dari Dewi Sukesih ini. Sentuhan-sentuhan bunga teratai surgawi menambah rangsangan erotisme sensual sang Dewi. Ikan-ikan yang ada dalam telaga pun menyentuh dengan nakal tubuh telanjang sang Dewi. Juga menimbulkan kenikmatan yang sangat indah dari sebuah rasa sensual sang Dewi.
Maka puncak sensual sang Dewi masih harus menuntut. Dan naiklah sang Dewi dari telaga yang indah, berguling-guling di taman. Sentuhan-sentuhan rumput di taman menimbulkan erotis yang begitu menggelitik. Dari sela-sela taman muncullah ular besar, sang Dewi membiarkan sang ular menghampiri, kemudian menjalar dan menjilati tubuhnya. Lilitan ular mulai dari ujung kaki hingga lehernya, menimbulkan puncak erotisme yang sangat sempurna. Tidak ada dimanapun. Maka sampailah ke puncak jeritan yang begitu mempesona dari sang Dewi. Jeritan itu adalah kesadaran betapa dirinya merindukan fisik lelaki, merindukan sentuhan lelaki, ciuman lelaki dan terutama merindukan kelamin lelaki. Terlontarlah erangan jerit sang Dewi.
Resah jeritan, desah sang Dewi, berubah diri; membentuk kuda betina yang sedang menggosek-gosek, berguling-guling, menggesek-gesek tubuhnya, tersiksa deraan birahi!
Kuda jantan yang memang sedang mencari kuda betina, bertemulah keduanya. Berguling-guling bersama, saling menggigit sambil bersenggama. Pada saat alat kelamin kuda jantan masuk ke alat kelamin kuda betina, sadarlah sang Dewi! Sadarlah Sang Begawan! Namun segala sesuatunya sudah terlambat.
Sempurnalah sudah tetesan dari fisik sang Begawan, puncak ketegangan kelamin yang masuk kedalam rahim sang Dewi mengeluarkan sperma. Hubungan suami isteri sempurna melampaui kenikmatan yang telah dirasakan dari semua itu.
Dalam pada itu menjelang puncak hubungan dari keduanya, dengan cepat Batara Guru dan Betari Uma keluar dari tubuh keduanya, lapor pada Batara Narada.
”Wahai Kakanda, benar! Ternyata mereka masih merindukan dosa-dosa yang tersembunyi. Sekalipun sudah sampai ke jagad alam yang paling suci, melampaui kesucian kita para Dewa. Mereka masih memiliki kelamin yang ada dalam Jagad Sastra Jendra Hayuningrat. Wahai Kakanda, betapa keagungan dan kesucian Sastra Jendra masih harus diperankan oleh kelamin mereka. Mereka dengan kelaminnya harus kembali ke bumi.”
Sesungguhnyalah bahwa pada saat keduanya didera oleh birahi yang maha dahsyat, semakin tinggi birahi dirasakan oleh keduanya, maka semakin turunlah mereka dari Kahyangan. Desah erang kejantanan sang Begawan dan jeritan kewanitaan sang Dewi dipuncak hubungan kelamin sempurna, keduanya sudah berada di Taman Arga Soka. Taman yang memang dipersiapkan bagi keduanya oleh Prabu Sumali, ayahanda Dewi Sukesih.
Begitu sadar, maka keduanya dalam keadaan tanpa busana. Reaksi pertama dari keduanya adalah dengan cepat mengambil busana masing-masing yang ternyata tergeletak di sebelah mereka, dan segera menutupi tubuh masing-masing.
(Dalam Qur’an : ”.........Adam dan Hawa segera mengenakan daun-daun surga untuk menutupi auratnya”)
Keduanya pun dilanda, dicekam oleh rasa malu yang sangat! Setelah keduanya selesai mengenakan busana masing-masing, nampaklah bahwa busana sang Dewi, busana indah puteri seorang raja yang serba putih, penuh noda darah keperawanan sang Dewi. Gugurlah Bunga Menur seorang gadis yang suci.
Berkata sang Begawan pada Dewi Sukesih, ”Wahai Dindaku, kita telah terikat sebagai suami isteri dan kita tidak perlu menikah kembali atas persetujuan orang tuamu. Kita tidak perlu akad nikah yang diresmikan oleh rakyat, oleh umat. Dan kitapun malu minta kepada sang Dewa untuk diresmikan dan disyahkan. Kita dinikahkan oleh syahwat kita. Bukan dinikahkan oleh alam ini, bukan dinikahkan oleh orang-tua kita, dan bukan pula dinikahkan oleh Sang Hyang Wenang, Tuhan yang Maha Esa.”
Dewi Sukesih menangis dengan segala penyesalan, dan air mata pun berderai tak henti-hentinya. Sementara sang Begawan tak berkata-kata, tak ada kalimat yang menyatakan tentang mohon pengampunan dosa. Tiada kata-kata yang menyatakan tentang rasa kebersalahan atau penyesalan dari sang Begawan.
”Wahai Dindaku”, kata sang Begawan, dengan nada getir yang kering, ”Engkau masih untung, kesakitan jiwamu dan rasa bersalahmu masih bisa diwakili oleh derai air matamu. Tapi aku tak mampu lagi yang bisa mewakili rasa sakit dari rasa bersalah ini.”
Ternyata walaupun tak ada kata atau kalimat yang menyatakan perasaannya ataupun derai air mata dari sang Begawan, ternyata sang Begawan lebih tinggi rasa penyesalannya. Karena dia adalah pendeta, wali Allah, seorang ulama yang sangat kasyaf, seorang resi, seorang pastur yang sangat suci.
Rasa penyesalan tak lagi mampu dapat diwakili oleh perangkat apapun, sekalipun dalam bentuk tangisan. Maka berkatalah sang Begawan, ”Dindaku, menangislah sepuasmu sekalipun tidak akan mensucikan noda-noda kita. Darah yang ada dalam busanamu menyebabkan semua anak manusia yang akan datang ke dunia ini harus tercekam, terpenjara kerinduan malam pertama pengantin. Biarlah, kita korban dari keserakahan nafsu kita sendiri. Biarkanlah kita menjadi korban dari syahwat yang lebih besar dari raksasa apapun. Biarkanlah kita menjadi tumbal, menanggung dosa semuanya yang akan lahir ke dunia ini”, sang Begawan tercenung sejenak, kemudian katanya,
”Wahai Dindaku, sperma yang keluar dari kelaminku telah menetes dalam jagad kewanitaanmu. Biarlah sperma itu menjadi makhluk baru dalam rahimmu, menjadi makhluk baru yang penuh kemerdekaan. Apapun sang janin jadinya. Kita serahkan kepada hawa nafsu yang telah kita ukir bersama. Biarlah sang nafsu yang telah kita ukir bersama akan membangunkan janin bayi yang ada didalam perutmu. Wahai Dindaku, kita harus siap mencintai, merawat dan mendidik bayi-bayi yang akan lahir. Anakmu adalah anakku, anakmu seharusnya cucuku, tapi anakmu adalah anakku. Apapun sifat dari bayi ini, kita tak boleh mengurangi cinta kita pada mereka, kita didik dengan segala pengorbanan tanpa harus menuntut. Sekalipun kita didik sebaik mungkin, karena lahir dari dosa kita, kitapun tak mampu untuk menjadikan mereka anak baik yang mendapat ridho dari sang Dewa. Biarkanlah berkembang dengan sifat keangkaraannya, dengan penuh kesalahannya. Biarkanlah anak kita berkembang dengan keinginannya, asal kita mensisakan kasih sayang yang ikhlas untuk mereka. Dengan segala perlindungan dan pendidikan. Dan baik tidaknya anak ini bukan tugas kita lagi. Itu adalah tergantung kearifan dari Sang Hyang Widhi yang menciptakan kita. Kitapun tak mampu berdoa untuk mohon itu, karena doa itupun sudah mengutuk kita dari dalam perbuatan syahwat yang akan mengukir sampai akhir dunia.”
Maka rasa malu keduanya untuk berhadapan dengan mereka yang dicintai, harus tetap dilakukan. Sang Begawan harus mohon maaf, harus mencium kaki sahabatnya sendiri, Prabu Sumali. Dan harus minta maaf pada anaknya sendiri, Prabu Danareja, sebagai raja Lokapala.
Sementara itu di Alengka, di dalam istananya yang megah, Prabu Sumali muncul kerinduannya yang sangat pada puterinya. Dan kerinduan yang menggelisahkan Prabu Sumali, bersamaan dengan masuknya Betari Uma ke dalam jagad kewanitaan Dewi Sukesih.
”Wahai sang Dewa, mengapa puteriku yang kucintai hingga hari ini belum juga pulang. Sedangkan Semua rakyat menunggu anakku dalam membawa oleh-oleh dipedarnya Sastra Jendra Hayuningrat. Sekalipun darah para raja tidak mengalir lagi di tanah Alengka ini, namun kerinduanku pada puteriku laksana genangan darah yang tak mampu mengalir. Mengapa aku gelisah wahai Dewa Maha Agung aku merindukan puteriku dengan segala kegelisahan. Jangan Engkau jadikan kegelisahanku sebagai ayah, menjadi kenyataan, Wahai Dewa Agung.”
Demikian ungkapan perasaan Prabu Sumali yang sedang dilanda kegelisahan. Di puncak kekhawatiran Prabu Sumali yang menanti penuh harap-harap cemas kepulangan puteri tercinta. Datanglah Dewi Sukesih bersimpuh di kaki ayahandanya, menangis dengan segala jeritan.
”Wahai Ayahanda, aku menciptakan bencana dan aku terbentur bencana, yang diciptakan dari keinginan dan keyakinanku sendiri.”
Betapa terkejut Prabu Sumali, ”Ada apakah gerangan wahai anakku.”
”Aku menciptakan bencana wahai ayahda, bencana yang memporak-porandakan semua yang kumiliki. Kini anakmu tak memiliki apa-apa, selain noda-noda dosa dan berkas-berkas syahwat yang begitu agung bercokol dalam jiwaku wahai ayahanda”, Kata Dewi Sukesih diantara sedu sedannya.
”Terangkanlah musibah itu, wahai Puteriku”, kata sang ayah, Prabu Sumali. Namun Dewi Sukesih diam.....terbungkam. Dalam diamnya air matanya tetap mengalir, tapi air mata darah yang terus menetes, mengalir. Ruang-ruang megah dari istana raja yang penuh dengan hiasan dan permadani yang indah, tegenang darah air mata sang Dewi. Alam diam. Dunia sepi. Semua rakyat tidur dalam kesyahduan. Bulan padam. Matahari padam. Kehidupan pun terhenti.
Tinggallah cekam kesepian yang begitu merasuk dari jiwa ketakutan sang ayah menimbulkan goncangan-goncangan yang sangat hebat dalam dadanya.
Terjadilah kehendak Dewa, cekam kesepian justeru bercerita tentang riwayat puterinya sendiri, tentang riwayat sahabatnya sendiri.
Pengulangan kembali peristiwa Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih, sekaligus ”berulang” dengan melibatkan sang raja. Dari cerita dua tokoh lelaki-wanita dari peristiwa panjang sampai bencana. Alam bercerita kembali tentang peristiwa itu, yang langsung dirasakan oleh Prabu Sumali.
Seusai pengulangan peristiwa itu, Prabu Sumali pun bersujud kepada Sang Dewa Agung, Sang Hyang Widhi.
”Wahai Hyang Maha Agung, Dewa, Batara, apakah ini sebuah perbuatan dari harga manusia, atau ada keterlibatan Engkau dalam mengobarkan, membangunkan api-api birahi yang ada dalam diri kami. Aku tak percaya, sahabatku yang begitu suci, yang mulia akhlaknya, yang suci ibadahnya, yang sempurna dalam meninggalkan kekuasaan kekayaan. Harus terlena oleh peristiwa itu, aku tak percaya! Pasti.......ada keterlibatan Engkau, wahai Dewa Agung di Nirwana.”
Demikianlah Prabu sumali berkata dalam sujudnya. Begitu sujudnya selesai, sang Prabu pun bangkit berdiri.
Tak lama kemudian, sahabatnya, Resi Wisrawa, sujud dipelukan kaki sang Prabu. Maka diangkatnya sahabatnya, dipeluknya.
”Wahai sahabatku, jangan engkau sesali semua ini, karena kita berangkat dari noda, jangan terlalu berharap banyak untuk mencapai kesucian seperti para Dewa. Biarkanlah kesucian menjadi keangkuhan para Dewa di Nirwana.” Sang Prabu Semakin erat memeluk sahabatnya.
”Jangan menyesal, aku tidak saja memaafkan engkau. Tapi cinta aku dalam jiwa sebagai sahabat tambah sempurna untuk mencintai engkau, begitupun cinta aku kepada puteriku. Puteriku korban dari harapannya sendiri. Biarkanlah para Bidadari mengutuk puteriku, tetapi aku yakin, suatu saat puteriku akan mengalahkan harkat Bidadari Kahyangan semuanya. Wahai puteriku, bangunlah, peluklah aku, jangan malu.”
Sang Dewi pun memeluk ayahandanya, di dadanya dia bersandar. Maka tumbuhlah perasaan tentram, setentram bayi dalam pelukan pelindungnya. Sang Dewi pun tenggelam dalam kesempurnaan cinta seorang ayah.
”Wahai puteriku, siapapun engkau dengan noda dosa yang sangat tinggi, cintaku tidak pernah berubah. Cintaku tambah tinggi karena aku tahu engkau memiliki kecintaan kepada rakyat, dan aku tahu engkau memiliki kecintaan kepada orang tuamu, melampaui saudara-saudaramu, melampaui cintanya rakyat kepadaku sebagai raja, dulu. Dan akupun mampu meninggalkan kekuasaan tahta, harta, serta ibumu. Itu adalah karena dorongan cintamu yang agung untuk segera meninggalkan istana, dan segera menuju pertapaan. Itu adalah jasamu, anakku. Dan ini akan menyelamatkan engkau dan mengalahkan keagungan bidadari yang ada di Kahyangan. Senyumlah, puteriku.....”, Sang Prabu mengangkat wajah Dewi Sukesih, ”Senyumlah....”, sang Dewi pun tersenyum.
”Teruskanlah perjalananmu bersama suamimu. Dan engkau wahai sahabatku, bertanggung jawablah, bahwa inilah isterimu. Walaupun engkau tidak dinikahkan oleh alam dan sang dewa. Tapi engkau akan dinikahkan oleh cinta aku sebagai sahabatmu. Wahai Begawan dan engkau wahai Puteriku, akan kunikahkan dengan cinta yang agung, yang pernah engkau berikan padaku, itulah mahar.”
Tak lama kemudian, Prabu Sumali mempersilakan keduanya berangkat.
”Berangkatlah menuju kepada kehidupan. Jemputlah darah-darah yang akan mengalir ke muka bumi ini. Wahai puteriku, tampunglah darah-darah para wanita, engkau membuktikan diri kepada para Dewa. Membuktikan bahwa engkau mampu lebih agung daripada para Bidadari, bahkan dari para Dewa itu sendiri. Berangkatlah, tundukkan dunia ini dengan darah yang engkau tampung, jangan coba kau tundukkan dengan kesucian Sastra Jendra”, kata Sang Prabu mengakhiri pesannya.
Setelah berpamitan maka berangkatlah keduanya, melanjutkan perjalanan.
Sedangkan dikerajaan Lokapala, sang raja Prabu Danareja duduk tercenung, melamun. Makanan yang disiapkan oleh ibundanya, tak disentuh. Hari demi hari hingga datangnya bulan, sang anak puasa.
”Wahai anakku”, kata sang Ibu, ”mengapa engkau biarkan dirimu tersiksa oleh puasa?”
”Ibu, aku sangat merindukan kekasihku Dewi Sukesih. Kapankah Ayahanda dan Dewi Sukesih pulang. Kerinduanku pada Dewi Sukesih melenyapkan seleraku pada makanan apapun. Apapun kenikmatan dunia tak ada artinya dibandingkan kerinduanku kepada kekasihku, Dewi Sukesih.”
”Wahai anakku, ayahmu pasti berhasil membawa Dewi Sukesih. Dan aku ini, ibumu, telah membuktikan kepatuhan dan janji yang benar dari ayahmu. Sebagai wanita, sebagai isteri aku puas, sebagai orangtua anak-anakku, ayahmu telah menghantar aku ke alam yang sangat tinggi dari kenikmatan harkat wanita. Apalagi engkau sebagai anaknya, pasti diangkat lebih tinggi.”
Namun betapa kaget keduanya, ketika ada yang datang, yang ternyata adalah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.
”Mengapa mata ayah demikian redup?”, berkata Prabu Danareja, ”Dimana kegagahan Ayah?”
”Wahai anakku, aku telah mencuri cinta, mencuri cinta kepada anakku sendiri. Cintamu kepada dewi Sukesih telah aku curi. Sekarang kekasihmu adalah ibu tirimu.” Maka sujudlah Begawan Wisrawa kepada anaknya sendiri.
Sang anak tak mampu berkata-kata, diam seribu basa, sudah tidak ada lagi perasaan apapun dalam jiwanya. Dirinya sudah menjadi patung yang tidak mempunyai rasa hidup. Dirinya tak dapat menyalahkan ayahnya ataupun menyalahkan Dewi Sukesih, karena jiwanya menjadi batu yang tak punya rasa.
”Wahai anakku Danareja, ampunilah ayahmu ini. Ayahmu gagal dalam memenuhi keinginanmu. Namun biarlah semua apa yang aku raih sebagai manusia dalam tapaku, dalam meninggalkan kemasyhuran tahta dan harta. Maka seandainya Hyang Widhi memberikan nilai-nilai kepada aku, biarkanlah aku berikan kepadamu, wahai anakku. Biarkanlah aku tidak ada arti selama alam raya ada, sampai aku bertemu dengan Hyang Widhi nanti. Biar kemegahan di hadapan Tuhan engkau yang merasakan, wahai anakku. Karena diantara noda dosaku, aku merasa lebih cinta kepada anakku. Engkau adalah kulahirkan dengan kesucian jiwaku. Namun engkau dihancurkan harapanmu, oleh rasa ayah yang dapat menyelamatkan anaknya.”
Kemudian sang Begawan bersimpuh kepada isterinya,
”Maafkanlah aku, wahai isteriku.”
”Wahai kanda”, berkata sang isteri, ”Tiada yang harus engkau ungkapkan. Namun cintaku yang murni, dalam kerinduan begitu utuh dan indah manakala kerinduanku sebagai wanita muncul. Dan aku tenang dengan cinta itu karena engkau, wahai suamiku, sedang bertapa dalam Sastra Jendra Hayuningrat. Namun kali ini cintaku merasa di uji. Yang berarti aku tidak perlu lagi merindukan dirimu. Manakala aku paksakan merindukan cinta pada suamiku, berarti aku harus berhadapan dengan cemburu, karena engkau telah memiliki isteri yang baru. Biarkanlah cinta ini akan kugenggam. Kalaupun aku rindu kepadamu, itu adalah kerinduan dari kenangan masa lalu kita. Biarkanlah cinta ini aku persembahkan teruntuk Sang Hyang Wenang. Maka tidak ada ampunan dariku. Pergilah, aku pun seharusnya seperti isterimu Dewi Sukesih, namun aku lebih beruntung karena aku telah dihantar oleh harkat.”
Dewi Sukesih dihantar kesombongannya dalam merasa dirinya mampu memedar Sastra Jendra Hayuningrat.
Maka kedua orang ini berjalan setapak demi setapak di muka bumi ini. Hingga di suatu saat datanglah suara atau wangsit dari Kahyangan. Batara Narada menyampaikan wangsit Sabdo Palon pada keduanya :
”Wahai anak-anaku, jangan sesali kemalanganmu, apakah engkau lupa wahai anakku. Kemalangan adalah hak setiap penduduk bumi, hidup itu sendiri adalah kemalangan. Wahai anak-anakku! Dunia adalah kemalangan, kamu harus ramah terhadap kemalangan. Jangan engkau lawan kemalangan. Kalau engkau ingin mendapatkan pengakuan penghormatan dari Sang Hyang Wenang, terimalah kemalangan sebagai kesadaran kehidupan di muka bumi ini. Karena kemalangan menyimpan rahasia kebahagiaan, kebahagiaan mereka yang ada di muka bumi, itu ada di balik kemalangan. Jangan engkau lawan, akrabilah, hingga kemalangan memberikan permata kebahagiaan kepada engkau”, Sabda Batara Narada.
[Dalam GGM, ”Bahwasanya, setiap kejadian yang menimpa seseorang, itu adalah dialog Allah dengan makhluk-Nya”]
”Wahai anakku, setinggi apapun harkat manusia, setinggi apapun ilmunya, ibadahnya, dharmanya, itu tak akan mampu mencari jatidirinya, karena jatidiri semakin dikejar semakin jauh. Jatidiri adalah dekat dalam jauh, jauh dalam dekat. Kau harus pandai-pandai melihat dimana ada jatidiri, tapi jangan mencoba memetik. Jatidiri bukan milik makhluk tapi milik Sang Hyang Tunggal”, demikian Sabda Palon dari Batara Narada.
”Dan engkau pun lupa wahai anak-anakku, kejahatan adalah bagian nafas kehidupan manusia. Segala apapun nilai-nilai yang suci dan benar, itu tetap ada dalam nafas kejahatan. Karena dagingmu menghirup udara kejahatan, darahmu mengecap udara kejahatan, fikiranmu menerima air kajahatan. Dan jiwamu adalah samudera kejahatan”, sabda Batara Narada,
”Dharma yang luhur dan agung tetap harus tersimpan dalam gelombang kejahatan. Karena itu anakku, kejahatan jangan kau lawan. lkutlah dengan kejahatan, tetapi manakala kejahatan akan menghancurkanmu, simpan dulu kejahatan. Biarkanlah kejahatan jadi milik hawa nafsumu, bukan milik anak-anakku. Engkau adalah milik kebenaran. Pisahkanlah kepemilikan kejahatan dan kebenaran, tanpa harus melawan kejahatan. Manakala engkau mencoba melawan kejahatan, engkau akan di makan oleh kejahatan itu sendiri. Begitulah wahai anak-anakku, dari Sabda Palon Hing Puri Agung Hayuningrat yang ada di Puncak Tahta Kerajaan Arya Loka di Parahyangan.”
Tahta Parahyangan adalah menyimpan tahta Kahyangan, didalammya ada Sabda palon, yang bisa di kumandangkan oleh Batara Narada, Dewa nilai-nilai, Dewa kesucian dan Dewa kearifan.
”Wahai anak-anakku, kemalangan memadu dengan kejahatan. Maka hukum dunia, hukum bumi adalah anak yang lahir dari kejahatan dan kemalangan. Terimalah hukum dunia dari anak perpaduan perkimpoian kemalangan dan kejahatan, dan ramahlah kepada hukum-hukum yang lahir dari keduanya. Karena daging dan darah sangat dekat dengan hukum bumi yang dilahirkan dari bayi-bayi dari perkimpoian kemalangan dengan kejahatan. Itulah Sabda Palon, wahai anakku.”
”Karena hukum dunia lahir dari kedua faktor tadi, maka kemanapun manusia pergi dalam mencari jatidirinya, apalagi mencari Maha Pencipta, tetap kesombongan dominan dalam diri manusia. Kalaupun memiliki ketersembunyian Nurani, tetap kesombongan perahu besar dalam mengarungi samudera kehidupan dunia. Terimalah itu semua sebagai takdir, wahai anak-anakku. Itulah Sabda Palon.”
”Wahai anak-anakku, Sastra Jendra bukanlah wedaran budi yang luhur, bukanlah wedaran dari kesucian yang tinggi, bukanlah wedaran dari ilmu yang sangat tinggi. Melainkan seruan kekuatan hati Nurani yang tersembunyi, karena hati Nurani, walaupun kalah oleh kekuasaan kejahatan, tetap suaranya mampu sampai ke Nirwana. Sampai pada puncak Nirwana, Tahta Parahyangan. Karena hanya Nuranilah yang mampu menggedor pintu Tahta Kahyangan.”
”Anakku, dalam ’diri yang jahat’, dalam ’diri yang malang’, simpanlah desir suara kecil dari Nurani. Walaupun kecil mampu sampai menggedor Tahta Parahyangan. Supaya bumi menjadi subur oleh Parahyangan. Dan janji Hyang Maha Tunggal, suatu saat bumi ini harus menjadi Parahyangan, baru Sang Hyang Wenang, Hing Murbeng Agung, akan tersenyum dan melupakan kemarahannya kepada penduduk bumi ini. Jadikanlah wahai anakku, turunanmu membawa Amanat Tahta Parahyangan. Itulah Sabda Palon, wahai anakku.”
”Dan mengapa engkau teruji, diuji oleh gelora syahwat yang tinggi, sehingga engkau menjadi suami isteri? Itu semua adalah suatu kekuatan yang tak mampu lagi dibendung olehmu. Terimalah darah-darah yang menetes dari setiap rahim yang akan lahir ke dunia, dengan demikian engkau telah memberikan kekuasaan kemalangan dari kejahatan lebih kokoh di dunia ini, hingga Hyang Widhi bosan kepada kekuasaan kemalangan dan kejahatan di dunia ini. Kebosanan Sang Hyang Widhi, itu akan menimbulkan ’kerinduan’ Sang Hyang Widhi datang langsung ke bumi yang hina. Itulah janji-Nya, untuk membangun Parahyangan. Wahai anakku, itulah Sabda Palon.”
”Maka kemalangan manusia dengan noda dosa tidak lagi harus diruwat. Karena Sang Hyang Widhi Maha Agung akan turun ke muka bumi, yang didampingi oleh adikku Batara Guru.”
”Batara Guru, adalah menjadi kendaraan yang indah dari Sang Hyang Wenang Hing Maha Agung, untuk mensucikan segala darah-darah yang telah engkau tampung, yang telah engkau simpan, supaya Parahyangan menjadi kenyataan. Parahyangan itu hanya bisa dilakukan, dibentuk, dipersiapkan oleh adikku Batara Guru, dan disempurnakan oleh kerinduan Yang Maha Agung untuk menjadikan parahyangan bagian dari jagad Kahyangan. Walaupun sesaat, tapi senyuman Hing Murbeng Agung menerpa, mengagungkan, mensucikan semua yang suci. Dan Pangruwating Diyu sudah tidak ada lagi. Karena Pangruwating Diyu telah menjadi Kendaraan kejahatan dan kemalangan, untuk kembali kepada pusatnya yang amat rahasia.”
[ingat kembali tentang ”Kuta Declaration”]
”Yang ada adalah Batara Guru menjadi Satria Lelanang Jagad. Dialah nanti di bumi yang akan memedar ’Naya Genggong’. Naya Genggong akan dipedar oleh keagungan Lelanang ing Jagad dari Sang Hyang Jagad Nata, Prabu Siliwangi Kahyangan, ngahyang (moksa) dan muncul dimuka bumi. Di bumi yang ditentukan dalam tugasnya adalah memedar Naya Genggong.”
”Naya Genggong anakku, adalah Gemah Ripah Loh Jinawi. Hanya Prabu Jagad Nata, Panata Jagad, Panata Negara, Panata Manungsa, yaitu adikku sendiri [Batara Guru] yang mampu demikian. Karena menjadi ’raga’nya Hyang Widhi.”
”Adikku tidak lagi sebagai Dewa, tetapi menjelma menjadi manusia yang berdarah berdaging. Ilmu punah! Karena budi menjelma. Budi dan jatidiri bukan lagi rahasia, tapi menjelma menjadi darah dan daging adikku sendiri, untuk memedar Naya Genggong, Gemah Ripah Loh Jinawi.”
”Wahai anakku, terimalah kemalangan dan kejahatan di dalam wadah keikhlasan supaya dengan cepat dan pasti mengundang Adikku dan Sang Hyang Agung turun ke bumi. Dan darah-darahmu, yang ditampung dari darah umat Manusia. Tambah banyak penampungan tetes darah Perawan, tambah cepat mengundang Sang Hyang Batara Pengasih Sukma, Panata Gama, Panata Buana, Panata Cinta, Panata Asmara, Batara Panata Sakti untuk segera hadir.”
”Wahai Dewa Narada”, berkata Begawan Wisrawa, ”Mengapa demikian? Kenapa Sang Hyang Murbeng Agung turun ke bumi ini? betapa malu. Aku tenoda, noda ini harus didekati oleh Yang Punya Kesucian, Sumber Kesucian. Mungkinkah itu terjadi? betapa malu, aku.”
”Wahai anakku, biarkanlah rasa malumu terkikis habis oleh senyuman dari Batara Hing Murbeng Asih. Dan Batara Hing Murbeng Asih sudah sejak lama hendak turun ke dunia ini, cuma Batara Narada masih malu untuk mengajak Sang Hyang Widhi datang ke bumi ini. Karena genangan darah belum lengkap mengisi mangkok kehidupan dunia ini.”

Mohon disimak baek-baek dialog2 yang cukup mendalam antara Batara Guru dan Batara Narada .... perhatikan maknanya ..... karena itu adalah Sabda Agung yang nyata .... tentang sosok Batara Guru yang "telah" hadir di bumi .......

Sang Hyang Widhi
I
I
Nur Muhammad
I I
I I
Batara Narada (SAW) Batara Guru (Al Mahdi)

* Sastra : adalah hidup dalam kehidupan; penghidupan dalam
hidup; menghidupi; menghidupkan segala yang hidup.
(Hirup dina kahuripan; Ngahuripkeun sagala kahuripan; Hirup kahirupan; Ngahuripan hirup [Sunda]

* Jendra : adalah proses kehidupan yang menghidupi, menuju hakekat kehidupan yang sehidup-hidupnya; mengarungi puncak kehidupan tanpa batas arti hidup.

* Hayuning : sangat bijaksana; Gelombang dari Karim dan Halim- Nya Allah swt.

Kencana Rukmi adalah : - Suatu alat (cahaya) untuk mengarungi Cahaya Allah swt, (Ihdinas shirathal mustaqim). Ketentraman; kedamaian; tanpa keinginan untuk menang atau mengalahkan. Bila kita mampu menjadikan Nurani sebagai Perahu kehidupan kita, maka apapun gemerlap kehidupan dunia dengan segala pesonanya, takkan mengecoh kita, walaupun kita ada persoalan, namun kita sudah memiliki kepastian hidup, (Ihdinash shirothol mustaqim).


Ok kita sambung yahhh ...............

Lahirnya : Rahwana, Sarpa Kenaka Dan Kumbakarna

Setelah Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih ke kerajaan Lokapala menemui isteri dan anaknya. Mereka kembali ke Alengka karena di Alengka-lah (Prabu Sumali), yang dapat menerima kedua orang ini.
Dan di suatu malam yang kelam, mencekam, dimana seolah-olah udara diam tidak bergerak. Gempa muncul dan berbagai gunung meletus. Pada saat demikian perut Dewi Sukesih seperti mau meletus.
”Wahai Kakanda, betapa perut ini sepertinya mau meletus. Oh Kakanda, betapa sakit perut ini”, kata Sang Dewi.
Walaupun kandungan tidak memperlihatkan perut membesar, tetapi terasa ada makhluk yang bergerak-gerak dalam perutnya. Jadi selama mengandung benih dari suaminya, Sang Dewi perutnya tidak berubah tetap langsing seperti sediakala. Namun rupanya pertumbuhan janin sedemikian pesatnya. Maka malam itu Sang Dewi tersiksa oleh sakit perutnya.
”Wahai Dindaku, anak-anak, bayi-bayi yang ada dalam rahim sudah siap, ingin keluar. Dan mengapa engkau penjarakan anak kita yang akan lahir? mengapa engkau penjarakan dalam perutmu? mereka punya hak hidup untuk lahir ke dunia. Biarkanlah mereka masuk ke alam kebebasan dunia ini, dan mereka jenuh dan lelah bergaul dengan alam kesempitan perutmu”, kata Begawan Wisrawa.
”Wahai Kakandaku, aku malu. Aku malu pada pepohonan, pada daun-daun dan gunung-gunung. Bukankah semua air, semua tanah, semua pepohonan akan menertawakan kita. Bukankah bayi ini hasil nafsu kita yang diukir bersama? Wahai Kakandaku, bukankah bayi ini hasil cinta kita? Cinta yang tidak mendapat restu sang Dewa!”, demikian Sang Dewi.
”Terimalah noda yang ada dalam bayi kita”, kata Begawan Wisrawa, ”Dan kejahatan apapun yang akan dilakukan oleh anak kita, bukan kesadaran dari anak-anak kita. Tapi itu adalah perpanjangan kesalahan kita, wahai isteriku. Seandainya anak-anak kita nanti berpesta ria dalam syahwat, itu bukanlah anak-anak kita. Tetapi adalah perpanjangan kerinduan syahwat yang terpendam dari kita bersama. Terimalah semua itu sebagai ’nikmat’ dari Dewa. Kesakitan jiwa ini, jiwaku, jiwamu, obatnya adalah penghinaan dari alam ini, dari mereka, dari semuanya. Tanpa penghinaan, kita akan tetap terkurung oleh ketersiksaan rasa bersalah. Penghinaan wahai Dindaku, membebaskan kesalahan kita, membebaskan keterkurungan dari rasa noda. Kita malu mohon ampun kepada Tuhan, kita malu mohon ampun pada para Dewa. Namun kita pun harus terbebas dari rasa bersalah. Satu-satunya adalah menerima penghinaan. Hinaan adalah membebaskan kita dari penjara noda, penjara rasa hina, penjara rasa bersalah, wahai Dindaku. Bernafaslah engkau, terimalah hinaan itu. Berarti bayi itu akan lahir ke dunia ini dengan selamat.”
Maka diujung kepasrahan yang paling dalam, karena bagaimanapun juga Dewi Sukesih telah sampai ke puncak Sastra Jendra. Sudah dipersiapkan arti makna kesabaran yang paling sempurna, makna kepasrahan yang paling suci. Dan diujung kepasrahan yang total, bayi pun lahir.
Namun bukan sebagai jabang bayi yang sempurna, yang keluar adalah darah-darah yang menggumpal, kemudian disusul oleh kuku-kuku, kuku kecil, kuku besar, kuku hewan, kuku manusia. Kemudian lahir lagi telinga, untaian telinga yang panjang.
Tak lama kemudian, disaksikan kedua orang tuanya. Darah itupun berproses jadi jantung, jadi paru-paru, setiap organ tubuh membentuk diri, hingga sempurna menjadi bayi. Dan yang lainpun, telinga dan kuping, berproses hingga sempurna menjadi tiga bayi.
Yang dari gumpalan darah menjadi Rahwana,
Yang dari Kuku, seorang wanita, menjadi Sarpakenaka,
Yang dari Kuping berproses menjadi Kumbakarna.
Namun setelah menjadi manusia Sang Dewi enggan memeluknya. Karena proses yang begitu cepat, dari gumpalan darah, kuku dan telinga, menjadi janin bayi. Menimbulkan perasaan aneh, kagum, sekaligus takut!
”Wahai isteriku, kini engkau telah menjadi seorang Ibu, aku menjadi Ayah. Peluklah anakmu, jangan engkau biarkan diam. Cepatlah susui mereka sebelum menangis. Seandainya bayi ini, anak ini, menangis, menjerit sebelum engkau susui. Maka keagungan cintamu sebagai wanita takkan bisa mengalahkan dunia ini. Cepat kalahkan dunia dengan air susumu. Karena dunia dengan segala kegagahannya akan kalah, akan takut oleh air susumu. Karena air susumu membuat energi cinta yang sempurna dari seorang Ibu.” Maka dengan cepat, satu persatu ketiganya disusui oleh Sang Dewi.
Begitu anak pertama, Rahwana, disusui maka dengan segera menangislah ia dengan keras, pun demikian dengan yang lainnya. Namun yang unik, Rahwana, begitu menangis, keluarlah sepuluh kepala, Dasamuka!
Sarpa Kenaka, begitu menangis tiba-tiba tersenyum, tiba-tiba membesar! Dan seketika, semuanya membesar! Sehingga Ibunya sendiri, lebih kecil dari ketiga anaknya. Jadi raksasa.
”Wahai isteriku”, berkata Sang Begawan, ”Cintailah mereka. Mereka adalah ’diyu-diyu’, raksasa-raksasa dari diri kita yang belum sempat diruwat. Mereka adalah jelmaan dari diyu-diyu yang ada dalam jiwa kita, yang belum sempat di sucikan oleh Sang Hyang Widhi. Terimalah mereka, raksasa-raksasa, sebagai anak kita, yang kita cintai, yang kita kasihi.”
”Wahai Kakanda, bagaimakah sifat nereka?”, tanya Dewi Sukesih.
(Sibak kembali Mutasyabih ”” bahwasanya motivasi perkimpoian, gejolak perasaan/bathin, dan kadar keimanan, saat berhubungan intim, sangat menentukan karakter anak yang akan terlahir)
”Rahwana adalah dari gumpalan darah yang kita tampung, dengan kebanggaan ilmu Sastra Jendra, dengan kebanggaan kesaktian yang kita rasakan. Dan dengan kebanggaan kita sudah pasti masuk Nirwana. Kitapun terjatuh! Maka semua dosa, darah-darah seluruh umat kita tampung bersama. Maka Rahwana adalah anak kita, dosa kita yang sempurna, syahwat kita yang sempurna. Kitapun telah meminjam semua syahwat manusia, kitapun telah meminjam semua nafsu umat manusia ke dalam mangkok-mangkok kecil kita. Maka Rahwana anak kita, adalah jelmaan kesempurnaan syahwat yang Tuhan ciptakan untuk umat manusia. Rahwana adalah sumber syahwat, sumber kejahatan, sekaligus sumber kemalangan. Rahwana adalah anak dari kejahatan dan kemalangan, yang diikat oleh syahwat yang sangat sempurna. Cintailah dia, wahai Dindaku. Hak anakku, hak anakmu untuk menjadi apapun. Yang penting kita hantar mereka dengan cinta dan kasih sayang. Kita didik mereka dengan tanggung-jawab. Hasil tidaknya itu kita serahkan pada Tuhan Yang Esa. Yang penting cinta kita dalam mendidik, cinta kita menghantar hingga dewasa. Itupun, penghinaan telah berkurang dari dosa-dosa kita. Rasa kebersalahan kita akan berkurang, manakala cinta-kasih kita, kasih-sayang, kepada anak-anak kita tidak pernah berkurang dan utuh. Sekalipun mereka sangat mengecewakan kita. Kini mereka milik Dewa, meskipun kita yang melahirkan.”
”Ada pun anak kita yang wanita, Sarpa Kenaka”, lanjut sang Begawan, ”Adalah kuku-kuku kita, wahai Dindaku. Engkau telah terangsang oleh seksual. Kukumu mengusap-usap tubuhmu sendiri di Telaga Nirmala, kukumu mengait-ngait, mencakar-cakar tubuhmu sendiri. Karena deru birahi betapa kuat, menguasai jiwamu dan fikiranmu, wahai Dewi Sukesih. Dan itupun kuku-ku, saat aku jadi kuda jantan, berlari-lari dalam birahi. Kuku kuda itu ada dalam kandunganmu. Lahir sebagai anak kita, yang kita cintai, Sarpa Kenaka. Sarpa Kenaka adalah lahir dari erangan-erangan, cakaran-cakaran kuku, karena birahi yang begitu hebat, yang menggerogoti jiwa kita. Dan kuku-kuku birahi sudah merasuk umat manusia hingga akhir zaman, wahai Dindaku. Dan puteri kita adalah simbol dari semua kuku yang ada di muka bumi ini. Kelak puteri kita, tidak ada yang dicari, selain lelaki! Tidak ada yang dicari kecuali kebanggaan menguasai lelaki. Cinta, tidak ada bagi anak kita yang wanita ini, yang ada adalah birahi. Dia tidak pernah puas menyerahkan tubuhnya untuk disenggamai oleh setiap lelaki, dan dia tidak pernah puas hanya dengan disetubuhi, bahkan dia harus memperkosa setiap lelaki. Kejantanan setiap lelaki dari anak manusia itu bisa dikalahkan oleh birahi putri kita. Dan tidak itu saja, kuku birahi lelaki tidak boleh memiliki wanita, tetapi lelaki harus dibeli oleh syahwat. Walaupun puteri kita berupa wajah buruk, bau, kotor, raksasa. Tapi manakala timbul birahi pada laki-laki, dia akan secantik bahkan melampaui kecantikan bidadari dari Kahyangan. Betapa akan terpesona semua mereka yang merasa menjadi pria, yang merasa menjadi lelaki. Kecantikan yang sempurna, kecantikan engkau wahai Dewi Sukesih, telah terwariskan pada puteri kita. Namun, saat dunia engkau menjadi kuda betina, dunia aku menjadi kuda jantan yang mengerang dalam senggama yang sempurna. ltu lebih luas, lebih besar jagadnya dalam jiwa puteri kita. Maka lelaki harus di beli, tidak saja fikiran dan jiwanya, namun semuanya akan dibeli oleh puteri kita. Satu lelaki tidak cukup, seribu lelaki lebih tidak cukup. Tidak saja fikiran dan jiwanya yang harus menghamba pada puteri kita, tetapi puteri kita bisa menimbulkan kebanggaan kelamin dari setiap pria, yang anak kita beli. Jadilah puteri kita, sumber sensual dari semua pria yang ada di dunia.”
”Dan anak kita Kumbakarna dari kuping/telinga”, sang Begawan meneruskan, ”Manakala kita di perbatasan Sela Menangkep, pintu Surgawi. Kita sadar, kita merindukan Yang Menciptakan Nirwana, walau kita tidak merindukan nikmat Nirwana. Namun kitapun sadar, manakala datang cobaan-cobaan. Rayuan engkau kepadaku dan tuntutan seks dari aku kepadamu, kitapun sadar sedang dicoba oleh sang Dewa. Maka bukankah Kakang sudah mencoba mengajak engkau ke bumi ini? Telinga kita saat itu, mendengar panggilan Sang Hyang Murbeng Asih, dari puncak Nirwana. Karena saat itu kita merasa kotor, belum siap masuk ke Nirwana. Jangan sampai mendengar kesucian yang luar biasa dari panggilan Illahi, manakala jiwa kita masih kotor, ternoda. Maka telinga-telinga yang lahir dari rahimmu menjadi putera Kumbakarna. Itu adalah perpaduan kerinduan pada kesucian, kerinduan pada kebenaran namun tanpa daya dalam dunia kekotoran. Kumbakarna adalah simbol bahwa manusia merindukan kesucian, merindukan ’dharma’ yang sempurna dan merindukan ingin sempurna dalam amal ibadah. Tapi manusia pun tidak mau melepaskan jerat birahi, jerat harap, jerat nafsu yang kuat. Maka kerinduan ini, dari suatu Dharma dan kesucian hanya ada dalam pendengaran Nurani manusia, tidak dalam pendengaran kuping manusia. Maka Kumbakarna, wahai istriku, setelah besar nanti. Dia melihat angkara murka di sekelilingnya tapi dia tidak kuasa untuk memperbaiki. Lebih senang tidur! Meninggalkan angkara murka. Tidur dalam ketenangan, karena tidak mau terbawa oleh angkara murka, namun gagal untuk merubah angkara murka. Maka anak kita seperti gunung yang diam, dia tidur dalam kediamannya. Tahu semua yang ada di dunia ini, tapi tak mampu untuk mengubahnya. Dia berhasil untuk tidak terserang angkara syahwat, tapi dia tak melawan, menghabiskan angkara syahwat. Syahwatnya memang tidak disenggamakan dengan sesama manusia, tidak diungkapkan dalam hubungan suami isteri, dalam hubungan lelaki dengan wanita. Tetapi, syahwatnya di bawa ke dalam tidur dan muncul dalam ilusi yang hebat. Dalam tidurnya dia bersenggama, dalam tidurnya dia bermegah-megah. Dalam tidurnya dia merasa ketenangan. Walau tidur, nafsu tetap sempurna dalam jiwanya. ltulah manusia yang akan lahir, seperti anak kita, Kumbakarna”, demikian Begawan Wisrawa.
”Kakandaku, betapa kasihan anak-anak kita ini, betapa kasihan mereka hidupnya. Aku sebagai Ibu yang melahirkan, terlalu berat untuk menerima kenyataan ini.”
Sang Begawan mengangkat kedua tangannya ke langit, ”Wahai Maha Dewa, aku mensyukuri bahwa isteriku muncul kekuatan cintanya, disela cinta muncul tanggung-jawabnya. Wahai Maha Dewa, bukankah cinta tiada arti tanpa tanggung-jawab? Bukankah cinta tiada makna tanpa tanggung-jawab? Dan, bukankah cinta tidak harus ada tanpa tanggung-jawab? Tanggung-jawab adalah buah dari cinta, tapi cinta itu sendiri lahir dari tanggung-jawab. Betapa Engkau telah menganugerahkan perasaan pada isteriku, untuk membuahkan cinta. Wahai Sang Dewa, isteriku telah ’meruwat’ dirinya dengan tanggung-jawab.”
”Wahai isteriku, engkau telah suci kembali, sebagaimana engkau telah sampai ke puncak Sastra Jendra Hayuningrat. Bawalah kesucian dirimu yang sudah pasti masuk ke Nirwana, atas jaminan Dewa. Bawalah cinta, bawalah kesucian dan bawalah tanggung-jawab dalam menyaksikan bagaimana anak- anak kita merusak dunia ini”, kata sang Begawan.
”Bagaimana Kakanda, seandainya para Dewa mengubah, apa yang telah Kakanda lihat tentang anak-anak kita. Bisakah itu?”, Sang Dewi bertanya.
”ltu, ’titis tulis’, Hing Dumadi”, jawab Sang Begawan, ”Kita membuat tulisannya, kita mempersiapkan daun lontarnya. Kita telah menulis dengan cinta, dengan syahwat, dengan ilmu dan dengan kesucian, pada daun lontar. Maka para Dewa meniupkan daun lontar itu jatuh di muka bumi ini. Memang hukum dunia dari kejahatan dan kemalangan, itu dibawa di permukaan daun lontar yang telah kita tulis bersama, telah tertulis pula di Nirwana. Permata-permata indah yang menghiasi Nirwana, yang memberikan cahaya ke negeri Nirwana, yang memberikan cahaya ke alam para Dewa, mulai redup. Karena telah kita nodai dengan air kehidupan dunia di permata cahaya dinding-dinding perhiasan Nirwana. Maka Permata kehidupan berkurang pancaran cahayanya oleh percikan air yang kita siramkan ke Nirwana.”
”Oh! Kakanda. Kapankah itu? Bukankah kita tidak pernah masuk ke Nirwana ? Dijegal oleh para Dewa!?”
”Lupakah wahai Dindaku? Ternyata perbuatan kita melakukan hubungan suami istri dan pesta syahwat, itu adalah kehendak Dewa? Dan manakala selesai Batara guru mempengaruhi kita untuk bersenggama, sang Dewa keluar dari jagad jiwa kita, kembali ke Nirwana membawa air kehidupan dunia dari tubuh kita, dari darah kita, dari daging kita. Batara Guru tak kuasa untuk menggenggam air kehidupan dunia, maka memerciklah ke permata cahaya di dinding Nirwana. Dan Batara Guru hanya melaksanakan tugas, titah, dari kebenaran Nirwana. Dan air itu kita yang membawa ke Puncak Sastra Jendra. Air dunia yang ternoda, kita bawa ke puncak Hayuningrat yang belum saatnya tiba. Wahai Dindaku. Anak-anak kita sudah masuk ke alam Takdir. Sudah masuk ke jagad Paria yang terendah, yang terhina, yang terhitam dari kehidupan. Anak-anak kita sudah terlanjur kita penjarakan di Alam Samsara. Walaupun mereka jahat, merekapun harus menerima penderitaan. Samsara!”
”Anak kita Rahwana, berkuasa jadi raja, apapun yang diinginkannya mampu didatangkan. Tapi apa yang didapat tidak membahagiakan anak kita. Justru itu alam Samsara, alam penderitaan yang lebih menderita dari kita sendiri, wahai isteriku.”
”Sarpa Kenaka, kecantikannya mampu membeli seribu laki-laki, menikmati seks, pesta pora dalam birahi. Seribu lelaki yang molek mudah didapatkan. Erang kuda kejantanan lelaki mudah dikecap, tapi puteri kita tidak pernah, tidak bisa menikmati, karena puteri kita ada di alam jagad Samsara, lebih mederita dari kita.”
”Anak kita Kumbakarna, dalam tidurnya dia menikmati kehidupan illusi, dalam tidurnya dia menikmati seks, pesta seks. Dalam tidumya dia ada dalam Istana dengan berbagai kemewahan dan keindahan. Tapi Kumbakarna anak kita, tidak menikmati di alam nyata. Tetapi alam illusi. Dalam tidurnya ada di jagad Samsara, di jagad penderitaan yang sangat, melampaui penderitaan kita, wahai isteriku.”
”Karena itu mereka sudah terlanjur masuk ke jagad Takdir, Kehendak Hyang Widhi. Karena kita memercikkan air noda dunia ke dinding Permata Cahaya di Nirwana.”
”Bagaimanakah wahai Kakanda, dalam menghadapi cinta anak-anak kita, seandainya pada waktunya, saya ibunya harus menderita melihat penderitaan mereka, anak-anak kita. Masihkah tetap diam?”, tanya Dewi Sukesih pada suaminya.
”Wahai isteriku, apapun usaha perjuangan dengan segala upaya untuk memperbaiki anak-anak kita, itu tidak mungkin menjadikan anak-anak kita lebih baik. Kita harus menerima penderitaan mereka, karena penderitaan itu kita pula yang mengukir.”
”Bisakah kita menyelamatkan mereka, wahai Kakanda?”
Rupanya hati seorang Ibu (Dewi Sukesih) masih selalu berharap yang terbaik bagi anak-anaknya.
”Oh Dindaku, bukankah sewaktu kita sama-sama memedar Sastra Jendra Hayuningrat, kitapun tak mampu menyelamatkan diri kita dari serangan syahwat? Bagaimana kita akan mampu menyelamatkan anak-anak kita? Kita sendiri tidak mampu menyelamakan diri kita sendiri! Terimalah azab mereka sebagai ’cermin’ bahwa kita telah membuat tulisan dan lukisan di cermin kehidupan ini. Dan semua anak manusia ikut serta, ma’mum, kepada anak-anak kita, hingga keputusan Hyang Widhi, keputusan Allah bersama Batara Guru, bersama Batara Narada, turun ke bumi ini membebaskan Kumbakarna-Kumbakarna yang lahir. Beribu-ribu Kumbakarna akan lahir, berjuta Sarpa Kenaka akan lahir dan berjuta Rahwana akan lahir. Hanya Hyang Maha Asih yang mampu melepaskan dari jerat noda mereka.”
”Satu-satunya wahai Dindaku, semua sisa kehidupan ini, kita peruntukkan bagi Tuhan Yang Maha Esa, Maha Pencipta Nirwana, Maha Pencipta kita. Kita serahkan semua teruntuk Hing Maha Murbeng, Allah swt.”
”Dunia jagad jiwa kita, kita bagi dua. Jagad mencintai anak-anak kita dan jagad yang kita persembahkan kepada Hing Murbeng Agung, Allah swt.”

Realisasi Pangruwating Diyu Dan Sejarah ” Cupu Manik Astagina ”


Ternyata ada dendam pada Begawan Wisrawa, dari seorang yang sangat sakti yaitu pamanda Dewi Sukesih, Jambumangli. Waktu para raja datang melamar Dewi Sukesih, semuanya dibunuh oleh Arya Jambumangli ini. Namun setelah tahu bahwa si keponakan diperisteri seorang resi, mengamuklah dia. Datang kehadapan Begawan Wisrawa.
”Wahai Begawan, aku tidak mengira, kesucian dirimu sebagai pengemban Wedha, pengemban kebenaran, pengemban kesucian, ternyata hanyalah srigala yang berbadankan kebenaran dan kesucian. Wahai Begawan! Ternyata kependetaanmu hanyalah sandiwara. Padahal, aku cukup lama di puncak penghormatan hati ini, menyimpan penghormatan kepadamu, penghormatan ini runtuh dalam jiwa ini ! Ternyata penghormatan kepadamu sebagai Resi tak pantas! Dan engkau tidak malu menghancurkan puteri Kakandaku, mencuri cinta anakmu sendiri! Dan engkau menodai dirimu sendiri di hadapan rakyat Alengka. Menghitamkan segala kesucianmu di hadapan rakyat Lokapala. Karena itu, aku memiliki ilmu yang belum pernah kugunakan. Seribu Ksatria akan mati, akan hancur oleh ilmuku ini. Aku tidak takut! Sekalipun engkau sakti mandraguna, wahai Resi.”
Ternyata segala caci-maki dan hinaan ini diterima sebagai ’nikmat’ oleh Begawan Wisrawa. Sang Begawan tunduk, malah bersimpuh kepada Arya Jambumangli. Sang Arya yang sedang mengamuk ini memanah sang Resi, dengan panah yang sakti. Berbagai panah menusuk ke tubuh sang resi. Beratus pusaka ditusukkan ke tubuh sang resi, sang resi membiarkan. Diam tak melawan. Karena ini semua dianggap qishash (karma), siksa dunia atas noda yang diciptakannya.
Dalam hati sang Begawan berkata, ”Terima kasih wahai Dewa, Engkau telah menjadikan pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Engkau mendahulukan pengadilan di Nirwana, di dunia ini. Bagiku ini adalah kehormatan yang sangat tinggi, wahai Sang Dewa. Ternyata Engkau masih menghormati diriku yang ternoda. Ternyata engkau tidak rela mengadili aku di Nirwana, tapi mengadili aku di jagad bumi ini. Betapa Engkau dan semua para Dewa menghormati aku. Biarkanlah siksaan ini membawa noda-noda dosa yang ada dalam jiwa dan fikiranku, wahai Dewa-Dewa .”
Dan ternyata, setiap senjata yang masuk dan keluar dari tubuhnya, tidak mengeluarkan darah setetes pun. Tambah disiksa oleh Jambumangli, tambah ikhlas, tambah nikmat dan tambah tinggi kesaktian yang ada dalam diri sang Begawan ini. Sampai ilmu apapun telah dikeluarkan, habis semua kesaktian Jambumangli.
”Wahai Resi, Pendeta yang melacur! Pendeta yang bersyahwat! Ternyata engkau sakti. Dan aku tidak menyimpan lagi kesaktian, karena aku tahu, kesaktian engkau karena kekuatan birahi yang engkau agungkan bersama keponakanku, Dewi Sukesih! Ternyata kesaktian engkau melampui kesaktian semua ksatria, karena engkau beli dengan syahwat yang tinggi. Karena engkau beli dengan tapa yang lama di dunia, dengan keserakahan cinta dan keserakahan syahwat menundukkan Dewi Sukesih. Aku mengaku atas kesaktianmu dan aku mengakui, kesaktian itu kau dibeli oleh syahwat dan puasa untuk mengejar syahwat, tapa untuk mengejar syahwat”, demikian Jambumangli.
Yang tadinya hinaan sebuah kenikmatan bagi sang Begawan. Tapi fitnah ini, sanggup menimbulkan rasa sakit di jiwanya. Maka manakala sakit di jiwanya karena tidak merasa seperti itu muncul dengan deras, justru saat itu anak-anaknya yang tiga itu, tambah besar, tambah dewasa dengan cepat, tanpa lagi melalui proses waktu. Ketersinggungan sang Resi, cepat mendewasakan mereka. Sang Resi kembali ke jagad kesuciannya. Hanya jagad kesuciannyalah sebagai Iman seorang resi yang sempurna, yang dapat mengalahkan perasaan – perasaan ketersinggungan tersebut.
Datanglah suara dari Nirwana, ”Wahai Begawan Wisrawa, bunuhlah Arya Jambumangli. Karena keangkara murkaan yang telah disebar oleh anak-anakmu, cukup melampaui kemurkaan dunia, melampui noda dunia. Jangan sampai ditambah noda-noda angkara Jambumangli. Namun, bunuhlah Jambumangli, bukan dengan siksaan. Tapi bunuhlah dengan kenikmatan yang telah engkau bawa dari Sastra Jendra!”
Maka Sang Begawan mengeluarkan ”alat” dari tubuh dirinya sendiri. Pusaka itu bukan tersimpan di luar tubuhnya, tapi di dalam tubuh fisiknya. Diambillah sebuah pusaka dari perutnya, maka keluarlah satu cahaya kuning yang menyilaukan Jambumangli. Jambumangli yang tadinya marah, mengamuk. Tiba-tiba, tersenyum, keluarlah keringat dari sekujur tubuhnya terus membuka bajunya sendiri, telanjang bulat! Maka tampaklah suatu pandangan yang ganjil. Jambumangli sebagaimana seseorang (laki-laki) yang sedang dipermainkan oleh suatu birahi yang maha dahsyat, seksnya terangsang, nafasnya mendengus sebagaimana nafas kuda jantan yang binal, gelisah!
Ternyata cahaya kuning dari Pusaka ini, membawa kabar, rekaman-rekaman peristiwa jadi kudanya Begawan sewaktu hubungan suami-isteri, pesta pora seks dengan Dewi Sukesih. Peristiwa itu, terulang kembali! Jambumangli ikut serta dalam pengulangan peristiwa tersebut. Dan di puncak syahwat, Jambumangli berguling-guling di tanah, yang disaksikan oleh sang Begawan. Akhirnya terungkaplah desah Jambumangli.
”Wahai Dewi Sukesih, ternyata aku berhasil memiliki dirimu, engkau jadi isteriku. Aku menyentuh tubuhmu, aku mencium tubuhmu, engkau mencintai aku Dindaku, isteriku. Engkau berhasil menjadi milikku dan aku puas hidup di dunia ini. Kekasihku, Cintaku, Dewi Sukesih”, demikian Jambumangli sambil tersenyum.
Maka senyuman itu sekaligus tarikan nafas yang terakhir. Jambumangli mati dalam kesempurnaan nikmat syahwat bersama Dewi Sukesih, seolah-olah. Padahal memang sesungguhnya terjadi seperti itu, karena Rahmat Allah terlalu luas ”Nafidad Kalimatullah”. Tetap diberikan kenikmatan dan kenyataan memiliki Dewi Sukesih. Tetapi yang dimiliki bukan keikhlasan kesucian ilmu Sastra Jendra yang sudah ada dalam diri Dewi Sukesih. Yang dimiliki adalah fisik syahwatnya dan kewanitaan Dewi Sukesih. Dibawa serta dalam kematiannya.
Maka datanglah suara dari Nirwana,
”Wahai Begawan, engkau telah menyelesaikan tugasmu membunuh Jambumangli, demi ketenteraman dunia, dengan ilmumu. Dibunuh oleh peristiwa hidupmu, dibunuh oleh pengalaman hidupmu, oleh nafasmu, oleh cintamu. Dibunuh oleh keikhlasanmu dan dibunuh oleh kesaktian engkau. Namun bagian-bagian syahwat yang tersisa dari dirimu, karena peristiwa ’senggama’ telah engkau wariskan kepada Jambumangli. Dan oleh Jambumangli telah dibawa kembali ke sumbernya. Biarkanlah Jambumangli, kematiannya di alam kenikmatan seksual, karena itu semua kehendak Dewa Yang Agung.”
Dewi Sukesih menyaksikan peristiwa ini,
”Kakanda, betapa tragis! Aku takut, aku dibawa. Syahwatku, fisik tubuh kewanitaanku. Aku takut. Bukankah aku manusia yang harus menyertakan perasaan kewanitaanku?”
”Wahai Dewi Sukesih isteriku kau harus mensyukuri”, jawab Begawan Wisrawa. ”Engkau telah diruwat oleh pamanmu sendiri, yang mencintai syahwatmu, yang mencintai kewanitaanmu. Pesona tubuhmu telah sirna kini, di dunia, kembali ke tempat asalnya. Dibawa oleh kendaraan cinta yang ada dalam diri pamanmu.”
Batara Narada pun datang menyampaikan sabdanya,
”Anak-anakku, engkau telah menghantar bayi-bayi hingga besar. Seiring dengan usia bayi yang membesar, seiring pula dengan ampunan dari Yang Maha Murbeng, menyertai engkau. Kini engkau terbebas dari dosa, noda. Engkau suci dari ujung rambut hingga ujung kaki. Suci segala gejolak jagad fikiranmu, suci segala gejolak jagad bathinmu, jagad jiwamu, dan suci pula rukhmu. Aku kirimkan ’Atma’ dari puncak Surgawi, ’Atma’ dirimu. Atma dirimu akan Kukembalikan wahai Begawan, dan Atma dirimu wahai Dewi Sukesih. Pakailah kembali Atma dirimu, jati dirimu, yang telah lama engkau simpan di arsip Kahyangan, atas kehendak Hyang Widhi.”
Maka datanglah cahaya yang persis wajahnya, yang persis fisiknya. Dan sang Atma itupun mengucapkan salam,
”Wahai sang Begawan, aku terlalu lama engkau tinggalkan. Dan aku terlalu lama engkau lupakan, namun aku rindu padamu. Kerinduan ini dapat izin dari Hyang Widhi untuk kembali kepadamu. Terimalah aku, dalam rumah jiwamu, dalam rumah fikirarmu.”
Berkata sang Begawan,
”Selamat datang wahai diriku yang sudah lama kurindukan. Selamat datang hatiku yang sudah lama kulukis dengan kerinduan kepada kebenaran. Selamat datang, wahai jiwaku yang selama ini kugapai, masuklah ke dalam rumahmu, yang sudah lama engkau aku kotori. Masuklah ke dalam rumahmu, yang sudah lama aku nodai. Dan tidurlah dengan nyenyak, di tempat tidur yang terpercik oleh spermaku, Wahai diriku. Masuklah ke jagad yang lama kosong di dunia ini.”
Maka masuklah Atma itu ke dalam diri keduanya, Begawan Wisrawa dan Dewi Sukesih.
Bersabda Batara Narada,
”Wahai Begawan, engkau telah kembali pada dirimu. Engkau telah kembali kepada haq yang telah engkau genggam. Penderitaan yang telah engkau genggam, usai sudah. Pengorbanan yang harus engkau bayar telah selesai, dharma tak perlu lagi karena sang Atma adalah dharma. Ibadah sudah tak perlu lagi, karena sang Atma, adalah ibadah. Engkau menjadi bagian dari kami, para dewa di Surgawi. Dan engkau telah menjadi dewa di dunia ini, di bumi ini. Wahai Begawan, segeralah berkunjung ke Nirwana. Tapi engkau, wahai Dewi Sukesih, masih punya tugas untuk membesarkan anak-anakmu. Maka manakala engkau rindu kepada Hyang Widhi, datanglah ke Nirwana dalam tapamu. Dan manakala engkau terpanggil oleh tanggung-jawab kepada cinta anak-anakmu, bangunlah dari tapamu.”
Sang Dewi menjerit,
”Wahai sang Dewa Narada, kenapa aku tak diundang ke Nirwana?”
Batara Narada menjawab,
”Wahai Ratu Bumi, wahai Ratu Dunia, cinta kasihmu masih diperlukan oleh umat manusia. Cinta kasihmu masih diperlukan untuk mengembangkan keturunan manusia untuk mengembangkan semua habitat hewan dan tumbuh-tumbuhan. Supaya daun tetap lestari, supaya bumi tetap berjalan. Engkau harus terima dharma ini sebagai penghormatan dari kami para Dewa. Biarkanlah suami lebih dulu berkunjung ke Nirwana. Tunggulah, sampai sang Dewa mengajak engkau ke Nirwana. Dengan rukhmu, dengan tubuhmu, dengan jiwamu.”
Sang Begawan pun bolak-balik, Nirwana Dunia (bumi) di dalam tapanya.
”Hal ini merupakan dambaan para filosof, para sufi, para pertapa, para ahli yoga, termasuk penganut kejawen. Menjadi dambaan keinginan melanglang buana dalam sepinya, dalam tapanya, di dalam mati raganya. Umat Islam memiliki yang sempurna dalam tapa, yaitu ’Shalat’ dengan segala kekhusu’an. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, ’Isra’ Mi’raj’ umatku adalah ’Shalat’. Karena shalat adalah Puncak nilai-nilai yang tidak diberikan kepada umat lain. Hanya diberikan kepada umat Rasulullah SAW.”
Manakala Begawan Wisrawa dijemput di Nirwana oleh para Dewa, para Bidadari, khususnya Batara Narada dan Batara Guru, dan Batara-batara lainnya. Mereka bertanya kepada sang Begawan ini yang namanya bukan lagi Begawan atau Resi, tetapi sudah menjadi Batara. Batara Wisrawa (Dalam wayang Batara Ismaya)
”Wahai Batara Wisrawa, apakah engkau bisa membersihkan air-air noda dunia dari Permata Kehidupan, Permata yang ada di dinding Nirwana ini? Kami para Dewa tak mampu membersihkan air noda dunia ini, cahaya surga berkurang oleh air noda dunia. Hanya engkau, Batara Wisrawa. Yang mampu membersihkan, dan bawalah kembali air noda dunia ini ke bumi, karena engkau bisa kembali ke bumi.”
Tak ada dalam Wedha, atau kitab agama apapun, hanya bisa diwedar dengan menggunakan, ”Senter Besar Mutasyabih” dari rahasia-rahasia Al-Qur’an. Karena kita sudah memberi wedaran ”Cupu Manik Astagina.”
Maka Batara Wisrawapun mengumpulkan air noda dunia yang memercik pada permata cahaya di dinding surga. Namun, setelah dibersihkan ternyata cahaya yang berkurang dari surga tak bisa terang kembali.
Berkatalah para dewa, ”Wahai Batara Wisrawa, engkau telah berhasil menyimpan kembali air noda dunia dalam mangkok jagad jiwamu. Tetapi cahaya gemerlap yang biasa ada di Surgawi berkurang. Permata-permata indah yang biasanya mengeluarkan cahaya gemerlap di alam Kahyangan, agak buram. Tetap buram walaupun air noda dunia itu sudah diambil.”
Bersabda Batara Narada, ”Wahai para Dewa, lihatlah! Karena peristiwa anak manusia yang mencoba masuk ke Nirwana, disebabkan oleh ketinggian ilmu Sastra Jendra Hayuningrat, menyebabkan cahaya Nirwana berkurang. Walau sang Batara Wisrawa telah mengambil air noda dunia itu ke mangkok bathinnya, cahaya tetap buram. Permata-permata itu sendu. Permata indah di dinding surga menjadi sendu.”
Batara Narada memberikan istilah kepada sumber cahaya yang ada di surga menjadi redup, permata menjadi sendu, adalah ”Air permata sendu.” Jadilah Air Permata Sendu, permata air kehidupan yang sendu.
Selanjutnya Batara Narada, mohon pada Sang Hyang Widhi di puncak Nirwana,
”Duhai Hyang Widhi Yang Agung, Dewata Sang Pencipta Segala Dewa, hanya Engkaulah yang mampu mengembalikan cahaya yang telah memudar di Nirwana ini.”
Terdengarlah firman dari Allah swt :
”Memang, hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya semua surya yang Aku ciptakan. Hanya Aku-lah yang mampu mengembalikan cahaya. Aku akan turun ke Nirwana, dalam membawa cahaya.”
Maka, Sang Hyang Wenang Maha Dewata Agung, Hing Murbeng Agung, Allah subhanahu wa ta’ala, turun ke Nirwana. Turun dari Puncak Muntaha ke Nirwana membawa serta cahaya, firman-Nya :
”Siapakah yang bisa menerima ’Ijab Qabul’, dari cahaya ini?” Semua bungkam. Batara Guru bungkam, Batara Narada bungkam, semua Dewa bungkam, Batara Wisrawa pun bungkam.
”Engkau Wisrawa?”, firman Hyang Agung, ”Bisa membawa Ijab Qabul cahaya ini? Engkau telah menyimpan kembali air noda dunia ke dalam jagad jiwamu. Maka Aku terpanggil untuk turun ke Nirwana ini. Berarti engkau bisa mewakili semua dewa-dewa untuk menerima cahaya Nirwana ini.”
Batara Wisrawa tunduk tak berkata-kata, sampai-sampai keindahan perasaannya yang sucipun, padam! Betapa malu. Malu kepada Yang Maha Menciptakan.
”Berarti, siapapun tak mampu menerima cahaya, sumber cahaya dari segala cahaya ini”, kembali Hyang Widhi berfirman :
”Cahaya puji-pujian dari Negeri-Ku, dari Istana-Ku. Cahaya puji-pujian, cahaya yang terpuji, Nur yang terpuji, Nur Muhammad. Berarti Aku yang harus tentukan siapa yang mewakili sumber Cahaya Terpuji ini. Biarkanlah, Aku lebih tahu, kepada siapa Aku lebih mencintai dari semua Dewa di sini.”
Hing Murbeng Agung memandang semua Dewa, satu persatu. Akhirnya, tatapan kesempurnaan Sang Hyang Widhi terhenti pada Batara Guru.
”Wahai Batara Guru, engkaulah yang paling Aku cintai dari semua makhluk, dari pada Nirwana yang Aku ciptakan dengan segala isinya. Aku pun hampir mengalahkan cinta-Ku pada diri-Ku sendiri. Bawalah Kekuasaan Cahaya ini oleh engkau, wahai Batara Guru.”
Batara Guru sujud. Dan setelah Batara Guru bangun, maka Kecintaan Allah pada Diri-Nya sendiri, pindah, ke jagad jiwa Batara Guru. Cinta Allah pada Diri-Nya sendiri ada dalam diri Batara Guru. Cahaya Terpuji dari segala Yang Terpuji, diterima.
”Simpanlah dalam jagad dirimu, wahai Batara Guru.”
Maka cahaya Surgawi yang pudar kembali terang, lebih terang dari semula, sebelum terkena air noda dunia. Permata Sendu, kembali gemerlap! Ternyata Cahaya yang ada dalam Jagad Bathin Batara Guru, lebih cemerlang dari cahaya Nirwana itu sendiri.
Firman Hyang Widhi, pada Batara Guru.
”Wahai Batara Guru, serahkanlah kembali pada-Ku cahaya itu.”
Batara Guru pun menyerahkan kembali cahaya yang terpuji dari segala yang terpuji, bersama jagad bathinnya sendiri, sebagai wadah. Inilah yang dinamakan Cupu Manik Astagina.
Di dalamnya ada Kekuasaan Allah, Cinta Allah Yang Maha sempurna. Demikian dipersembahkan kembali pada Allah, cahaya tetap cahaya di Nirwana. Cahaya dalam bathin Batara Guru pun tetap bercahaya.
Firman-Nya : ”Cupu Manik Astagina ini Ku-bawa dulu sementara waktu, ke tempat-Ku. Manakala engkau turun ke bumi, bawalah Cupu Manik Astagina ini. Guna mempersiapkan turunnya Aku di negeri dunia.”
Begitu semuanya usai, Batara Wisrawa menangis.
”Wahai Dewa-dewa, aku tak mau pulang! Ternyata selama waktu yang panjang, engkau, Dewa-Dewa, belum pernah bersua dengan Sang Hyang Widhi, bertatap muka dengan Hing Murbeng Asih. Kebetulan aku ke Nirwana ini, bersama engkau aku bertemu. Akupun bertemu, bertatap muka dengan Hyang Agung.”
Ternyata semua dewa belum pernah bersua, bertatap muka dengan Sang Hyang tunggal. Batara Wisrawa sangat beruntung, namun dampaknya tak mau kembali pulang kebumi.
Akhirnya datanglah Firman-Nya :
”Wahai Batara Wisrawa, belum saatnya engkau meninggalkan dunia, engkau masih dibutuhkan oleh dunia. Bawalah Cupu Manik Astagina yang telah Ku-genggam, namun cupunya saja. Isilah dengan air kehidupan dunia yang telah tersimpan dalam jiwamu. Cukuplah dunia akan diruwat oleh air yang telah Ku-simpan pada jagadmu yang diisi ke dalam wadah, Cupu Manik Astagina.”
Isi Cupu Manik Astagina yaitu : Nuur, tetap digenggam oleh Allah swt. Maka turunlah Begawan Wisrawa, dari Nirwana kembali ke bumi. Dengan membawa Cupu Manik Astagina yang isinya Air Kehidupan Dunia.
Untuk selanjutnya, Cupu Manik Astagina yang berisi air kehidupan dunia ini, kita sebut sebagai Cupu Manik Banyu Kahuripan.
Adalah sebuah hukum yang belum selesai dari setiap Nabi dan Rasul, turun ke muka bumi ini.